Bagi
seorang wanita dan pria pada umumnya, mejomblo dalam usia matang sungguh tak
nyaman. Betapa pun, menikah adalah kebutuhan fitrah setiap manusia. Tidak
terpenuhinya kebutuhan ini sangat bisa jadi menjadi penyebab guncangan jiwa
yang bersangkutan. Ditambah lagi budaya dan paradigma yang berkembang di masyarakat
yang memojokkan wanita jomblo. Perawan tua, tidak laku dan kalimat-kalimat
semacamnya menjadi label bagi mereka yang belum menikah. Belum lagi tuntutan
dan pertanyaan dari keluarga dan tetangga kiri-kanan tiap ketemu yang bikin
sebal,” Kapan menikah?”
Bagi
seorang wanita dan pria normal, keluarga dan anak-anak adalah harapan dan
cita-cita. Keluarga adalah tempat mengabdi yang membawa ketenangan. Anak-anak
adalah amanah yang membawa kebahagiaan. Sangat wajar, jika setiap wanita dan
pria menginginkan adanya fase menikah dalam hidupnya. Tapi masalahnya, menikah
tidak bisa dilaksanakan secara sepihak. Menikah membutuhkan pasangan, yang
dalam situasi, kondisi dan masa tertentu tidak mudah ditemukan. Karena kriteria
yang tak sepadan, karena kuantitas yang tak terpenuhi, maupun karena takdir
belum menentukan. Seperti pada masa sekarang, saat wanita jomblo di usia matang
hampir menjadi fenomena.
Lantas
bagaimana?
Bersabar,
menunggu dan bertakwa kepada keputusan Allah. Itu yang banyak saya dengar, dan
saya sepakati pula. Hal ini barangkali hikmah diperbolehkannya poligami oleh
kaum pria, dan mungkin sudah tiba masanya. Ini pendapat lain, yang saya juga
tidak menolaknya. Namun, apakah hanya itu? Saya kira masih ada alternatif lain,
yang lebih progresif bukan pasif dan bisa dilakukan secara mandiri oleh seorang
wanita dan seorang pria. Saya teringat sebuah kisah tentang seorang muslimah
perkasa di punggung Gunung Kidul di Kota Yogyakarta. Wanita itu sangat aktif
utamanya dalam kegiatan dakwah dan sosial.
Dengan
sepeda motornya ia menjelajahi pelosok desa, mengisi kajian dan memberikan
penyuluhan di kampung-kampung miskin dan desa-desa terpencil. Ia menjadi
panutan, ia menjadi konsultan, ia menjadi acuan, ia menjadi tempat orang-orang
lugu itu meminta nasihat.
Muslimah
itu, masih jomblo dalam usianya yang 35 tahun. Muslimah itu, mengasuh tiga anak
yatim dengan kemampuannya sendiri. Muslimah itu, tidak kesepian karena ia punya
‘keluarga’. Wanita itu tak kehilangan fitrah kewanitaannya karena ia punya
‘anak-anak’ tempat ia mencurahkan cinta dan perhatian. Muslimah itu tidak
digugat kesendiriannya karena ia menebar manfaat.
Membaca
kisahnya, banyak inspirasi yang bisa diambil oleh kaum wanita ddan tentunya
juga oleh kaum pria, dan saya pun ingin meneladaninya. Apa yang dilakukan
muslimah tersebut bisa menjadi salah satu alternatif jawaban atas problema
banyaknya wanita-muslimah khususnya- berusia matang yang belum menikah. Apa
yang dilakukan si muslimah perkasa, memberikan hikmah yang banyak bagi
kemanusiaan.
Jika
kita renungan, menjadi jomblo (jomblo) bukanlah sebuah aib dan dukacita.
Menjadi jomblo membuka pintu-pintu amal dan manfaat bagi diri dan masyarakat,
seperti halnya yang dilakukan si muslimah.
Seorang
wanita dan pria jomblo akan lebih mudah bergerak dan beraktifitas karena ia tak
dibebani tugas-tugas kerumahtanggaan. Seorang wanita dan pria jomblo akan bisa
lebih banyak berbakti kepada masyarakat dengan modal waktu, peluang dan
kemampuan yang ia miliki. Berapa banyak selama ini aktifitas sosial masyarakat
yang mandeg karena ditinggal karena tidak punya waktu? Berapa banyak aktifitas
yang masih terus berkembang karena penyandangnya ‘alhamdulillah’ masih jomblo
dan punya waktu banyak untuk berkomitmen?
Lantas
bagaimana memenuhi kebutuhan fitrah sebagai wanita dan pria? Bukankah pintu
tebuka lebar juga? Lihat, betapa banyak anak-anak di dunia ini yang butuh
asuhan, pendidikan dan usapan tangan lembut kaum wanita dan kecupan dari
seorang pria? Apalagi di Jakarta yang sedemikian tua dan menyimpan banyak problema
terutama berkaitan dengan anak jalanan, anak miskin, anak yatim dan anak-anak
yang kurang dalam pendidikan dan asuhan.
Dalam
kesendirian dan kemandirian kaum wanita dan pria, barangkali Allah memang
mengirimkan mereka untuk anak-anak tak mampu, untuk dididik, untuk diasuh.
Mereka adalah anak-anak kita juga, begitu Emha Ainun Najib pernah mengatakan
dalam salah satu tulisannya di buku Markesot Bertutur. Anak-anak sesungguhnya
adalah anak-anak dunia, amanah dari Allah yang mesti dijaga. Sekalipun mereka
tidak lahir dari rahim kita.
Saya
percaya, selalu ada hikmah di balik setiap realitas yang ditetapkan Allah.
Banyaknya wanita dan pria jomblo pada masa sekarang, mungkin karena Allah
menginginkan adanya tangan–tangan terampil, pribadi-pribadi lembut namun
perkasa untuk menanggung sebagian beban dunia. Tugas itu diantaranya adalah
mengasuh anak-anak yatim, anak-anak jalanan, anak-anak tetangga yang kurang
perhatian dan kurang pendidikan moral. Tugas itu diantaranya adalah ikut
membenahi kerusakan sosial, kemiskinan, buruknya pendidikan dan aktifitas
publik lainnya yang membutuhkan komitmen waktu, kemampuan dan kemandirian
seorang wanita.
Mereka
butuh kita, para wanita dan pria jomblo yang mandiri, yang sanggup menafkahi
diri sendiri dan orang lain. Yang memiliki perhatian dan kemauan lebih untuk
all out terhadap aktifitas yang mungkin tidak bisa dilakukan oleh para wanita
dan pria yang sudah berumahtangga. Kita bisa tetap memiliki keluarga, meski
bukan karena pernikahan. Kita dapat memiliki makna, meski bukan dengan cara
menjadi ibu rumah tangga dan kepala rumah tangga. Kita mampu bisa menjadi
manusia seutuhnya melalui usaha kita sendiri, tanpa harus meminta pengertian
semua orang.. Sekarang tinggal kita tinggal memilih: Mengadopsi anak dari panti
asuhan, anak jalanan, anak tetangga? Atau ikut berpartisipasi menjadi orang tua
asuh, mendidik anak jalanan, anak-anak TPA, anak tetangga, keponakan,
mendirikan taman bacaan? Atau bahkan ‘hanya’ sesedikit apapun, berkontribusi
terhadap komunitas dan masyarakat. Mereka adalah juga ‘keluarga’ kita.
Posting Komentar