Ma’anil
Hadits
Hadits-hadits
yang dianggap misoginis.
1.
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ وَلاَ
يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ
اللَّهِ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَخْرُجَ فِي جَيْشِ كَذَا وَكَذَا وَامْرَأَتِي
تُرِيدُ الْحَجَّ فَقَالَ اخْرُجْ مَعَهَا
“Janganlah wanita safar
(bepergian jauh) kecuali bersama dengan mahromnya, dan janganlah seorang
(laki-laki) menemuinya melainkan wanita itu disertai mahromnya. Maka seseorang
berkata: “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesungguhnya aku ingin
pergi mengikuti perang anu dan anu, sedangkan istriku ingin menunaikan ibadah
haji.” Beliau bersabda: “Keluarlah (pergilah berhaji) bersamanya (istrimu)”.
[HSR. Imam Bukhari (Fathul Baari IV/172), Muslim (hal. 978) dan Ahmad I/222 dan
246]
2.
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ ثَلاَثًا إِلاَّ مَعَ ذِي
مَحْرَمٍ
“Janganlah seorang wanita
safar sejauh tiga hari (perjalanan) melainkan bersama dengan mahramnya”. [HSR.
Imam Bukhari (1087), Muslim (hal. 970) dan Ahmad II/13; 19; 142-143; 182 dan
Abu Daud]
3.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata: Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَحِلُّ لامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا حُرْمَةٌ
“Tidak halal (boleh) bagi
seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir safar sejauh sehari
semalam (perjalanan) dengan tanpa mahram (yang menyertainya)”. [HSR. Imam
Bukhari (Fathul Baari II/566), Muslim (hal. 487) dan Ahmad II/437; 445; 493;
dan 506]
Dari hadits-hadits ini didapatkan perbedaan
signifikan yaitu, lamanya perjalanan seorang perempuan yang harus ditemani oleh
seorang mahram, atau suaminya. Mengutip pernyataan al-Nawawī bahwa perbedaan
pada setiap matan bukanlah suatu batasan secara dzahir, tetapi hadis-hadis ini
menyatakan bahwa setiap safar yang dilakukan oleh seorang perempuan
haruslah disertai dengan mahramnya.[1] Sebaliknya
al-Mundziry menyatakan, bahwa satu hari adalah hitungan awal, dua hari
pertengahan dan tiga haris awal banyaknya lama perjalanan. Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Dalil-dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tersebut menunjukkan diharamkannya safar wanita tanpa mahrom. Syaikh Sholeh Al Fauzan telah ditanya tentang wanita yang
bepergian tanpa ditemani mahromnya. Beliau menjawab : “Wanita dilarang
bepergian kecuali apabila ditemani oleh mahramnya yang menjaganya dari gangguan
orang-orang jahat dan orang-orang fasik
Dari
hadit-hadits diatas jika dilihat secara dzohir maka dapat disimpulkan bahwa
setiap permepuan yang hendak keluar rumah maka ia harus ditemani mahramnya jika
tidak maka haram hukumnya. Oleh sebab itu, seluruh wanita muslimah yang kuliah
atau sekolah maka setiap hari mereka akan menaggung dosa akibat mereka tidak didampingi
oleh mahramnya. Pertanyaanya apakah memang seperti itu syariat Islam dalam
memandang perempuan? jika iya maka wajar jika ada orang kafir, orientalis, atau
liberal yang menyatakan bahwa dalil-dalil tersebut misoginis terhadap kaum
perempuan, tidak menegakan hak-hak manusia yang kemudian melahirkan gerakan
feminisme.
Jika
dilihat secara dzahir saja maka pada masa sekarang ini maka bisa
dibayangkan pada saat ini, jika mahram selalu harus sesuai denga teks
hadits yakni dengan nasab sungguh hal ini akan merugikan efesinsi waktu mereka
masing-masing. Dan seluruh mahasiswi dan pelajar muslim akan menanggung beban
dosa setiap harinyadengan zaman
sekarang. Oleh sebab itu banyak para orientalis yang menyebutkan bahwa syariat
Islam sudah tidak sesuai lagi dengan zaman kekinian, hal ini akan sangat
bertentangan dengan ajaran agama Islam yang menyatakan bahwa Islam akan selalu
senan tiadsa sesuai dengan zakam dan tempat,
Mengutip
perkataan Qurasy Syihab yang mengatakan kita harus mampu membumikan Al-Qur’an,
artinya kita harus mengambil inti sari dari Al-Qur’an supaya bisa sesuai dengan
zaman dan wakru akan tetapi tetap tidak melampaui rambu-rambu Islam, begitu pun
dengan Hadits kita harus mampu membumikannnya agar selalu senan tiasa akan
sesuai dengan zaman dan waktu.
Dalam
memahami sebuah hadits tidak hanya terpaku pada teks saja juga harus pada sisi
historisitas, sosiologi dan antropologi, maka pemahaman itu harus secara
komprehensif, supaya tidak terjadi kekeliruan dan tidak cenderung rigid.
Hendaknya
memahami benar konteks larangan hadits ini. Sebab (‘Illat) jika dilihat dari sisi
sosilogis pada saat waktu itu, larangan hadits ini adalah karena jika wanita
pergi sendirian tanpa suami atau mahram pada saat menukangi unta dan keledai
menempuh gurun atau jalan-jalan sepi dikhawatirkan terjadi sesuatu atasnya atau
melahirkan fitnah baginya. Nurun Najwah mengutip pendapat Ibn al-Munir,
bahwa hadis ini kira-kira disampaikan pada saat 9 atau 10 H[2] Terkait
dengan adanya pelaksanaan haji dalam Islam, tentunya itu dilaksanakan pertama
kali oleh kaum Muslim ketika mereka ada di Madinah.[3] Pernyataan
ini dipertegas dengan adanya perintah dari Nabi saw pada 9 H terhadap perempuan
– yang saat itu dipimpin oleh Abu Bakar al-Shiddīq dan dan Ali Bin Abi Thālib –
untuk melakukan haji bersama mahram-nya.[4] Hal ini
ditakutkan karena dua hal, pertama, umat Islam harus bercampur dengan kaum
Musyrikin Mekkah dengan keyakinan dan tradisi – haji – yang berbeda, salah
satunya thawāf dalam keadaan telanjang telanjang. Walaupun pada saat itu
telah, pada 9 H, perintah terhadap kaum Musyrikin untuk melaksanakan haji dan thawaf
dengan telanjang telah ada.[5] Namun,
adanya kewajiban mahram dalam safar perempuan, akan terlihat jelas
manakala melihat faktor kedua, yaitu, ahwal al-Safr, keadaan perjanalan,
karena yang dilampaui adalah padang pasir – belum lagi adanya orang-orang yang
tak dikenal di tengah perjalanan – dan tentu saja saat itu kendaraan yang
dipakai hanyalah unta. Hal ini wajar, jika Rasulullah mengharuskan adanya mahram
demi keamanan perempuan itu sendiri.
Hal ini diperkuat dengan pernyataa Al-Nawāwi
yang mengutip dari pernyataan ‘Athā, Sa’id bin Jubair, Ibn Sirrīn, Mālik,
al-Auzā’iy, dan al-Syafi’i bahwa mahram itu bukanlah syarat dalam
perjalanan perempuan, tetapi lebih pada keamanan perempuan itu sendiri. Namun
ada yang menyatakan bahwa keamanan seorang perempuan dalam akan tercapai dengan
seorang mahram atau perempuan yang terpercaya, niswah tsiqāt.[6]
Oleh sebab itu, adanya keamanan itu terbentuk bukanlah pada seseorang –
mahram – tetapi keamanan itu muncul dari
perempuan itu sendiri dalam suatu kafilah. Maka, ‘illah sebenarnya
pada hadis ini adalah keamanan seorang perempuan, yang pada saat itu ditentukan
oleh sosio-historis dan kultural perempuan sendiri.
Dengan demikian, mahram
dalam hadits-hadits tersebut bukan hanya mengacu pada nasab saja akan
tetapi lebih kepada perlindungan dan keamanan bagi perempuan, dengan kata lain
ketika wanita tersebut berada di lingkungan yang terjamin keamanannya maka hal
yang demikian bisa dikatakan dengan mahram, hal ini diperkuat dengan maqashid
syariah yang hendak dicapai oleh Islam yakni Islam yang hanif ingin menjaga
wanita Muslimah dari setiap bahaya yang akan menimpanya dan ingin menjaga
kehormatannya dengan berbagai cara dan bermacam-macam wasilah guna memberikan
manfaat baginya baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itulah disyaratkan
mahram dalam safar bagi wanita Muslimah tersebut. Dan ini adalah perhatian
syariat Islam yang lurus kepada kaum wanita dan perkara ini tidaklah membawa
mereka kepada jurang kebinasaan atau kesempitan.
Oleh karena
itu, dengan meninjau sisi historisitas, sosiologi dan antripologi serta maqashid
syariah dalam penetapan mahram bagi wanita, maka jika keamanan pada
‘hadits’ ini telah tercapai dengan tidak adanya mahram, maka secara
tidak langsung ‘mahram’ –arti kerabat yang haram dinikahi karena berbagai
hubungan – tidak dibutuhkan lagi dalam safar perempuan. Hal ini secara
sosiologis berarti yang dibutuhkan hanyalah keamanan dan perlindungan bagi
permepuan. Dan bisa dibayangkan pada saat ini, jika mahram selalu harus
mengikuti dan menemani safar perempuan – kemana pun – sungguh hal ini
akan merugikan efesinsi waktu mereka masing-masing. Dan seluruh mahasiswi dan
pelajar muslim akan menanggung beban dosa setiap harinya.
Oleh sebab itu,
kemaslahatan-lah yang harus diprioritaskan. Jika ingin melihat sosio-kultural
pada masa Rasulullah, khususnya 9-10 H, dimana hadits ini diucapkan,
sesungguhnya mahram perempuan diwajibkan karean pada saat itu banyak
dari kalangan kaum kafir yang memusuhi Islam.
Dengan demikian
Islam yang ramatan lil alamin dan sholihul likuli zamamn wa makan akan
selalu benar, dan syarait Islam akan selalu senan tiasa eksis ditengah
terjangan badai globalisasi dan modernisasi yang sangat kencang yang datang dari
kalangan orang barat ataupun orientalis.
[1] Ibn Hajr
al-‘Asqalānī, Fath al-Bāri, bab Haj al-Nisā
(DVD ROM al-Maktabah al-Syāmilah), Juz. 6, hlm. 88.
[3] Kebebasan Haji bagi kaum Muslimin terbuka pada 8 H, tepatnya
setelah Penaklukan kota Mekkah, Fath al-Makkah. Lihat, Safi al-Rahman
al-Mubarakfuri, Sīrah Nabawiyyah terj. Kathur Suryadi (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 1997), hlm. 444.
[4] Nabi Muhammad saw telah menunaikan ibadah haji sekali semasa
hayatnya. Haji itu dinamakan Hijjatul Wada'/
Hijjatul Balagh/ Hijjatul Islam atau Hijjatu at-ttamam Wal Kamal ((10 H/632 M)
karena selepas haji itu tidak berapa lama kemudian beliau pun wafat (12 Rabi’ul
Awwal 11 H). Setelah terjadinya fath makkah (8 H/630 M),
[6] Syarh al-Nawāwi ‘alā Muslim bāb al-Marah ma’ al-Mahram (DVD ROM
a-Maktabah al-Syāmilah), Juz. 4, hlm. 500.
Posting Komentar