Ilmu Tafsir dan Wacana Rekonstruksi Penafsiran terhadap Al-Qur'an




BAB I
PENDAHULUAN

a.      Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan oleh Allah yang harus dipalajari karena Al-Qur’an diturunkan sebagai tuntunan bagi umat Islam. Dinamisasi ilmu pada masa klasik telah membuktikan secara intelektualitas bahwa Al-Qur’an merupakan satu-satunya kitab suci yang tidak hanya menjadi kompas dalam kehidupan religius tetapi dalam perkembangan sains, Al-Qur’an memiliki peran yang sangat besar.
Para intelek muslim saat itu telah mengembangkan kitab suci ini menjadi beragam macam ilmu. Tetapi dalam pembahasan kali ini hanya akan dibahas definisi, perkembangan ilmu tafsir Al-Qur’an dari masa kemasa, ruang lingkup pembahasan, tujuan, hingga usaha segelintir manusia yang ingin merekontruksi bangunan ilmu tafsir yang telah baku.
Masalah bermula setelah kematian nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah sekaligus penunjuk jalan umat saaat itu. Karena tiada penunjuk jalan dikala gulita, tak ada tempat untuk bertanya, maka setelah beliau wafat mengharuskan umat muslim untuk mandiri dalam menggali makna-makna yang terkandung dan tersimpan dalam Al-Qur’an untuk diaplikasikan dalam realita kehidupan. Hal ini mendorong para ulama klasik untuk merumuskan kaidah-kaidah tafsir yang akan memudahkan manusia yang hidup setelah mereka.
Dalam pembahasan ilmu tafsir tentunya tidak semua ulama mendefinisikan hal yang sama satu sama lain. Karena hal ini bisa didasari oleh keadaan geografis, sosiologis, politik, dan banyak hal lain. Tetapi dengan perbedaan itu telah menjadikan umat muslim klasik maupun kontemporer membuka mata lebar-lebar dalam mempelajari ilmu ini.
b.      Batasan Masalah
Permasalahan dalam ilmu tafsir, dinamika dan pembahasannya sangatlah kompleks, maka dengan hanya tulisan singkat ini tidak akan menampung semua aspek permasalahan yang ada. Melainkan pembahasan yang sangat mendasar, yang sering dilupakan, yang akan diutamakan dalam karya singkat ini.
Dalam litertur yang diketemukan hanyalah membahas ahli-ahli lingkup internaasional. Sedangkan para ahli di kalangan nasional masih menjadi tanda Tanya besar dalam perkembangannya. Walaupun sebenarnya para ahli dalam kancah nasional memiliki sumbangsih dalam dinamisasi ilmu tafsir, tetapi mengingat keterbatasan intelektualitas dan referensi membuatnya menjadi misteri. Untuk lebih mengoptimalkan teks, maka berikut pembahasannya.

BAB II
PEMBAHASAN

Al-Qur’an adalah wahyu Tuhan dengan kebenaran mutlak yang menjadi sumber ajaran Islam. Al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat Islam yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar. Ia berfungsi untuk  memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia, baik secara pribadi maupun kelompok. Ia juga menjadi tempat pengaduan dan pencurahan hati bagi yang membacanya, dan memberikan manfaat dan dampak luar biasa bagi kehidupan manusia. Dalam kedudukannya sebagai kitab suci dan mukjizat bagi kaum muslimin, Al-Qur’an merupakan sumber keamanan, motivasi, dan inspirasi, sumber dari segala sumber hukum yang tidak pernah kering bagi yang mengimaninya. Al-Qur’an bagaikan sinar matahari yang menyinari kepada seluruh makhluk ciptaan Allah SWT ia akan menghangati semua makhluk yang terkena sinarnya dan ia tak akan pernah hilang sampai hari akhir nanti. Di dalamnya terdapat dokumen historis yang merekam kondisi sosiologi, ekonomi, religius, ideologis, politis, dan budaya dari peradaban umat manusia sampai abad ke VII masehi. Dan ia merupakan kitab yang dijamin keotentikannya oleh Allah SWT dan ia adalah kitab yang selalu di pelihara.
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ   
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”[1]
Jika demikian halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an melalui penafsiran-penafsiran, memiliki peranan sangat besar bagi maju atau mundurnya pradaban umat, menjamin istilah kunci untuk membuka gudang simsimpani yang tertimbun dalam Al-Qur’an.[2]
Sebagai pedoman hidup untuk segala zaman, dan dalam berbagai aspek kehidupan manusia, Al-Qur’an merupakan kitab suci yang terbuka (open ended) untuk dipahami, ditafsirkan dan dita’wilkan dalam perspektif metode tafsir maupun perspektif dimensi-dimensi kehidupan manusia. Dari sini muncullah ilmu-ilmu untuk mengkaji Al-Qur’an dari berbagai aspeknya, termasuk di dalamnya ilmu tafsir/’ulumul qur’an.

A.    Definisi Ilmu Tafsir/’ulumul Qur’an
     Para pakar ilmu tafsir banyak memberi pengertian baik secara etimologi maupun terminologi terhadap term tafsir/’ulumul qur’an. Secara etimologi kata ‘ulumul qur’an berasal dari 2 kata yaitu ulum dan Al-Qur’an, kata “ulum” merupakan jamak dari kata  “ilmu”. Ilmu yang dimaksud disini adalah sejumlah pembahasan yang dibatasai oleh sebuah tema. Sedangkan Al-Qur’an, sebagiamana para ulama mendefinisikan bahwa Al-Quran adalah kalam atau firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang pembacaannya mengandung ibadah.[3] Dengan demikian, secara etimologis ‘ulumul Qur’an adalah ilmu (pembahasan-pembahasan) yang berkaitan dengan Al-Qur’an.
Sedangkan secara terminologi penulis akan mengungkapkan pendapat para pakar, diantaranya :
Ø Manna al-Qaththan menyebutkan dalam kitabnya
العلم الذي يتناول الأبحاث امتعلقة بالقرآن من حيث معرفة اسباب النزول و جمع القرآن و رتيبه و معرفة المكي و المدني و الناسخ و المنسوخ و المحكم و المتشابه إلى غير ذلك مما له صلة بالقرآن
“Ilmu yang meliputi beberapa ppembahasan yang berkaitan dengan Al-Qur’an, baik dari segi pengetahuan tentang sebab-sebab turun ayat, pengeumpulan Al-Qur’an dan penyusunannya, pengetahuan tentang makki dan madani, nasakh dan mansukh, muhkan dan mutasyabih dan lain sebagainya yang berhubungan dengan Al-Qur’an.”[4]
Ø Menurut Muhammad ‘Abd al-Azhim az-Zarqani
مباحث تتعلق بالقرآن الكريم من ناحية نزوله و ترتيبه و جمعه و كتابته و قراءته و تفسيره و إعجازه و ناسخه و منسوخه و دفع الشبح عنه و نحو ذلك
“Beberapa pembahasan yang berlaitan dengan Al-Qur’an al-Karim, baik dari segi turunnya, susunannya,  pengumpulannya, penulisannya, qiraahnya, tafsirnya, kemukjizatannya, nasakh dan mansukhnya, dan menolak  tuduhan-tuduhan terhadapnya dan lain-lain semacamnya.”[5]

Ø  Menurut Abu Syaibah
علم ذومباحث تتعلق بالقرآن الكريم من حيث نزوله و ترتيبه و جمعه و كتابته و قراءته و تفسيره و إعجازه و ناسخه و منسوخه و المحكم و المتشابه إلى غير ذلك من المباحث التى تذكر في هذا العلم
“Sebuah ilmu yang membahas banyak objek pembahasan yang berhubungan dengaaan Al-Qur’an mulai proses penurunan, urutan, penulisan, penulisan, kodefikasi, cara membaca, penafsiran, kemukjizatan, nasikh-mansukh, muhkam-mutasyabih, sampai pembahasan-pembahasan lain.”[6]
Ø  Menurut Muhammad Ali ash-Shabuni
الأبحاث التى تتعلق بهذا الكتاب المجيد الخالد من حيث نزول و الجمع و الترتيب و التدوين و معرفة أسباب النزول و المكي منه و المدني و معرفة الناسخ و المنسوخ و المحكم و المتشابه و غير ذلك من الأبحاث الكثيرة التى تتعلق بالقرآن العظيم أو لها صلة به
Pembahasan-pembahasan yang berhubungandengan kitab Al-Qur’an yang mulia baik dari segi turunnya, pengumpulannya, penyusunannya, pembukuannya, dan mengetahui sebab turunnya, pengetahuan tentang makki dan madani, nasakh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih dan lain sebagainya dari pembahasan-pembahasan yang banyak yang berhubungan dengan Al-Qur’an yang agung atau yang mempunyai hubungan dengannya.”[7]
Melihat dari definisi yang dikemukakan oleh para ulama walaupun dengan redaksi agak sedikit berbeda definisi diatas mempunyai maksud dan tujuan yang sama. Para ulama diatas telah sepakat bahwa ‘‘ulumul Qur’an adalah pembahasan-pembahasan yang berkaitan dengan Al-Qur’an. Jika dilihat dari segi makna bahasa saja, maka semua ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an itu disebut dengan ‘‘ulumul Qur’an. Tetapi dalam perkembangannya, sekalipun ilmu-ilmu itu berasal dari kajian terhadap Al-Qur’an, tetapi seriring berjalannya waktu ilmu itu menjadi berdiri sendiri maka ilmu itu tidak di masukan kedalam ‘‘ulumul Qur’an. Misalnya seperti ilmu nahwu dan sharf sekalipun pada awalnya ia berasal dari kajian terhadap Al-Qur’an tetapi dengan berjalannya waktu ilmu tersebut berkembang sehingga menjadi ilmu yang berdiri sendiri, maka ilmu nahwu dan sharf tidak dimasukan kedalam ‘‘ulumul Qur’an. sebagaimana dengan akidah, memang pada dasaranya ilmu akidah itu bersumber dari Al-Qur’an tapi lama kelamaan ilmu itu menjadi ilmu tersendir maka dengan demikian ilmu akidah tidak termasuk ke dalam ‘‘ulumul Qur’an.
Menurut Al-Zarqani istilah ‘‘ulumul Qur’an pertama kali dimunculkan oleh Al-Hufi pada abad V H dengan membukukan sebuah kitab yang berjudul Al-Burhan fi ‘Ulumil Qur’an yang terdiri dari 30 jilid.[8] Tapi berbeda dengan Al-Zarani ada yang berpendapat bahwa istilah ‘‘ulumul Qur’an pertama kali muncul pada tahun VI H. Oleh Abu al-Farj bin al-Jauzi dengan menulis sebuah kitab yang berjudul Fununul Afnan fi ‘Aja’ibi ‘‘ulumul Qur’an.[9]
‘‘ulumul Qur’an merupakan bagian dari ilmu syari’at yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang merupakan sumber segala hikmah, serta petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. ‘‘ulumul Qur’an telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang hingga zaman modern sekarang ini. Kebutuhan akan ‘‘ulumul Qur’an semakin mendesak lantaran untuk menyempurnakan keberagamaan dapat diraih apabila sesuai dengan syari’at, sedangkan kesesuaian dengan syari’at bannyak bergantung pada pengetahuan terhadap Al-Qur’an, kitabullah.
Demikian ulasan mengenai definisi ‘ulumul qur’an. Hal ini menjadi penting untuk diketahui, karena pada perkembangan penafsiran akan tampak keragaman dan perubahan pada kurun waktu tertentu. Dimana ulama modern, tentu akan berbeda melihat penafsiran dengan ulama klasik. Karena masa, kondisi lingkungan akan mempengaruhi hasil tafsiran.

B.     Ruang Lingkup Ilmu tafsir/ ‘ulumul Qur’an
Ruang lingkup ‘‘ulumul Qur’an adalah segala pembahasan mengenai Al-Qur’an. Mula-mulanya ia membahas tentang pengertian Al-Qur’an baik secara etimologis maupun terminologis, kemudian membahas tentang bagaimana turunnya Al-Qur’an dari Allah ke Lauh Mahfuzh, dari Lauh Mahfuzh ke Baitul Izzah, dan dari Baitul Izzah kepada Nabi Muhammad SAW, dan mngenai surat makkiyah ataupun madaniyah, serta ukuran ukuran tentang pengelompokan surat makkiyah dan madaniyah. Dan juga tentang pembahasan mengenai ayat yang pertama turun dan ayat yang turun terakhir.
Para ulama juga membahas tentang masalah pengumpulan Al-Qur’an, penulisannya, dan hafalannya, mulai dri zaman Rosulullah SAW, zaman khalifah Abu Bakar ash-Shidiq, zaman khalifah Umar bin Khatab, zaman khalifah Utsman bin Affan, zaman khalifah Ali bin Abi Thalib dan yang lainnya. Para ulama juga menyertakan mengenai pembahasan tuduhan-tuduhan terhadap Al-Qur’an dan jawaban terhadap tuduhan-tuduhan tersebut. Kemudian juga dibahas tentang ayat dan surat, berapa jumlah ayat dan surat-surat yang terdapat didalam Al-Qur’an, dan juga mengenai masalah penamaan terhadap surat-surat didalam Al-Qur’an.
Selanjutnya para ulama juga membahas tentang asbab an-nuzul sebuah surat atau ayat yaitu ketika ada sebuah peristiwa yang terjadi kemudian turunlah Al-Qur’an baik satu ayat maupun beberapa ayat, bahkan satu surat, ataupun ada sebuah pertanyaan yang diajukan oleh para sahabat kepada Roslullah SAW kemudian turunlah Al-Qur’an. Ulama juga membahas tentang turunnya Al-Qur’an dalam tujuh huruf sebagaimana yang disebutkan dalan hadits Rasulullah SAW, apa yang dimaksud dengan tujuh huruf tersebut, dan sejalan dengan itu para ulama juga membahas tentang masalah qiraah atau cara baca Al-Qur’an, qiraah mana yang bisa diterima dan mana yang ditolak. Dan juga terdapat pembahasan tentang persoalan sanad (rangkaian para periwayat), apakah riwayat itu mutawatir atau tidak, mengenai apakah periwayatan ahad bisa diterima atau tidak.
Selain itu juga terdapat pembahasan yang membahas tentang nasikh mansukh didalam Al-Qur’an, apakah ada nasikh mansukh didalamAl-Qur’an, para ulama berbeda pendapat tentang permasalahan itu ada yang berpendapat tidak ada  nasikh mansukh didalam Al-Qur’an, sebagian lagi berpendapat bahwa terdapat nasikh mansukh didalam Al-Qur’an, bahkan ada juga yang sudah menentukan bahwa ayat ini sudan dimansukh oleh ayat lain, ada juga yang berpendapat dengan mengambil jalan tengah, yaitu menerima tapi dengan selektif setelah mencoba menggabungkan ayat-ayat yang kelihatannya bertentangan  dengan menggunakan pendekatan takhsis mukhasis atau yang lainnya. Sebagaimana juga disebutka didalam definisi ‘‘ulumul Qur’an disana menyebutkan tentang muhkam dan mutasyabih, apa yang dimaksud dengan muhkan dan apa yang dimaksud dengan mutasyabih.
Selanjutnya juga dibahas tentang munasabah didalam Al-Qur’an, yaitu hubungan antara ayat satu dengan yang lainnya, baik itu ayat yang sebelumnya ataupun sesudahnya, hubungan antara satu surat dengan surat yang lainnya. Dan para ulama juga membahas tentang kisah-kisah yang terdapat didalam Al-Qur’an, apakah kisah-kisah yang terdapat didalam Al-Qur’an itu bersifat nyata atau bersifat fiktif. Kemukjizatan Al-Qur’an turut dibahas oleh para ulama dalam ‘‘ulumul Qur’an baik itu dari aspek bahasanya, sejarah, ramalan masa depan, dan aspek ilmu pengetahuannya. Dan yang terakhir juga dibahas tentang masalah tafsir.


C.    Tujuan ‘‘ulumul Qur’an
Adapun tujuan dari ‘‘ulumul Qur’an,[10] adalah:
1.      Agar dapat memahami kalam Allah ‘Aza Wajalla sejalan dengan keterangan yang dikutip oleh para sahabat dan para tabi’in tentang interprestasi mereka terhadap Al-Qur’an.
2.      Agar mengetahui cara dan gaya yang digunakan oleh para mufassir (ahli tafsir) dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan disertai penjelasan tentang tokoh-tokoh ahli tafsir yang ternama serta kelebihan-kelebihannya.
3.      Mengetahui cara mufasir dalam penafsiran mereka beserta uslub-uslubnya
4.      Agar mengetahui persyaratan-persyaratan dalam menafsirkan Al-Qur’an.
5.      Mengetahui ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Hubungan ‘‘ulumul Qur’an dengan tafsir juga dapat dilihat dari beberapa hal yaitu:
a.       Fungsi ‘‘ulumul Qur’an sebagai alat untuk menafsirkan, yaitu:
1)      ‘ulumul Qur’an akan menentukan bagi seseorang yang membuat syarah atau menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara tepat dapat dipertanggung jawabkan. Maka bagi mafassir ‘‘ulumul Qur’an secara mutlak merupakan alat yang harus lebih dahulu dikuasai sebelum menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.
2)      Dengan menguasai ‘‘ulumul Qur’an seseorang baru bisa membuka dan menyelami apa yang terkandung dalam Al-Qur’an.
3)      ‘‘ulumul Qur’an sebagai kunci pembuka dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an sesuai dengan maksud apa yang terkandung di dalamnya dan mempunyai kedudukan sebagai ilmu pokok dalam menafsirkan Al-Qur’an.
b.      Fungsi ‘‘ulumul Qur’an sebagai Standar atau Ukuran Tafsir Apabila dilihat dari segi ilmu, ‘‘ulumul Qur’an sebagai standar atau ukuran tafsir Al-Qur’an artinya semakin tinggi dan mendalam ‘‘ulumul Qur’an dikuasai oleh seseorang mufassir maka tafsir yang diberikan akan semakin mendekati kebenaran, maka dengan ‘‘ulumul Qur’an akan dapat dibedakan tafsir yang shahih dan tafsir yang tidak shahih. Ada beberapa syarat dari ahli tafsir (mufassir) yaitu:
1)      Akidahnya bersih.
2)      Tidak mengikuti hawa nafsu.
3)      Mufassir mengerti Ushul at-Tafsir.
4)      Pandai dalam ilmu riwayah dan dirayah hadits.
5)      Mufassir mengetahui dasar-dasar agama.
6)      Mufassir mengerti ushul fiqh.
7)      Mufassir menguasai bahasa Arab.

             Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa ‘‘ulumul Qur’an sangat penting dipelajari dalam rangka sebagai pijakan dasar dalam menafsirkan Al-Qur’an oleh para mufassir. Dapat dikatakan semakin dikuasainya ‘‘ulumul Qur’an oleh mufassir maka semakin tinggilah kualitas ijtihad tafsirnya.

D.    Sejarah Perkembangan

Sebagai generasi yang menerima Al-Qur’an lebih dulu tentulah Rasulullah dan para sahabatnya lebih mengetahui seluk beluk Al-Qur’an, tafsiran Al-Qur’an, dan ilmu-ilmu untuk memahammi Al-Qur’an. Tetapi pada saat itu membukukannya bukanlah suatu hal yang urgen karena nabi masih hidup, sehingga tidak ada dorongan untuk menyusunnya dalam sebuah disiplin ilmu yang terkodifikasi dan tersusun dengan rapi seperti masa sekarang. Karena ulama yang hidup setelah mereka memliki inisiatif untuk menyusun ilmu-ilmu Al-Qur’an untuk melestarikan dan merapikan ilmu itu supaya tidak ada kepunahan ilmu.[11]
Para sahabat sangat antusias dalam menerima Al-Qur’an dari nabi SAW. Setiap nabi Muhammad menyampaikan suatu ayat dari Al-Qur’an, mereka mempelajari dan menghafalnya, bahkan menurut mereka hal itu adalah sebuah kehormatan. Walaupun ‘ulumul qur’an pada saat itu belum dirumuskan tetapi aktifitas mereka dalam mempelajari dan menulisnya[12] merupakan sebuah cikal bakal tersusunnya ilmu ‘ulumul qur’an.
Sebelum membahas pekembangan tafsir dan ilmu tafsir, seyogyanya dibahas terlebih dahulu latar belakang dan seluk beluk dikumpulkannya al-Qur’an dari yang mulanya lebih marak dihafal dalam hati (al hifdzu fi as Sudur) hingga sekarang dijaga dengan baris-baris mushaf (al Hifdzu fi as Sutur).
Pengumpulan Qur’an terbagi menjadi tiga periode, pada masa Rasulullah, pada masa khalifah Abu Bakar ash Shidiq dan masa kekhalifahan Utsman bin ‘Affan. Setiap periode memiliki ciri khas tersendiri dalam pengumplannya. Pada zaman nabi Muhammad SAW, cara memelihara al-Qur’an adalah dengan menghafalnya karena sejarah mencatat bahwa Nabi Muhammad adalah seorang yang ‘ummiy yang tidakbisa membaca ataupun menulis. Setelah suatu ayat dalam al-qur’an disampaikan kepada para sahabat, lantas mereka berlomba-lomba untuk menghafalnya sehingga sangat banyak sahabat yang hafal Al-Qur’an. Hal ini didasari karena (1) mereka telah terbiasa menghafal, yaitu menghafal sya’ir dan menghafal nasab, (2) mereka sangat mencintai Al-Qur’an, (3) fasilitas tulis menulis sangatlah terbatas.
            Al-Qur’an dikumpulkan dalam satu mushaf pada masa kekhalifahan Abu Bakar ash Shidiq atas inisiatif Umar yang disetujui oleh Abu Bakar dengan diskusi yang alot. Semula Abu Bakar menolak usulan umar ini karena takut melakukan suatu bid’ah, lalu Umarpun berhasil meyakinkannya sehingga keputusan untuk membukukan al Qur’an pun ia tetapkan. Hal ini disebabkan banyaknya para penghafal Al-Qur’an yang syahid ketika perang yamamah, dikisahkan saat itu para quraa’ yang syahid ada sekitar 70 sahabat. dan tidak ada cara yang ampuh untuk menjaganya selain membukukan Al-Qur’an. Melihat siapa sahabat yang paling pantas mengemban tugas ini, maka Abu Bakar pun menunjuk Zaid bin Tsabit untuk mengerjakannya.
Sedangkan pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan diadakan suatu program penyatuan Al-Qur’an dengan cara menulis kembali al-Qur’an dengan membentuk satu tim yang terdiri dari 4 orang. Zaid bin Tsabit sebagai ketuanya dan Abdullah ibn Zubair, Sa’id ibn ‘Ash, dan Abdurrahman ibn al-Harits ibn Hisyam sebagai anggota. Perintah utsman yaitu menulis kembali suatu mushaf yang didalamnya bisa menampung perbedaan yang ada.[13]
Ketika ada perbedaan bacaan, Abu Bakar mengintruksikan mereka untuk menulisnya sesuai dengat logat quraisy karena Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad yang bersuku Quraisy. Setelah mushaf yang baru selesai, Utsman meminta untuk membakar mushaf Abu Bakar dan menggunakan mushaf yang standar supaya tidak ada perbedaan dikalangan umat Islam. Lalu setelah program ini selesai Utsman mengembalikan mushaf Abu Bakar kepada Hafshah. Maka dengan pembukuan ini lahirlah salah satu cabang ‘ulumul qur’an, yaitu  ilmu rasmil Qur’an yang mencakup penulisan dan penyusunan ayat dan surat dalam Al-Qur’an.
Penafsiran Al-Qur’an sudah dimulai sejak masa Nabi Muhammad dengan beliau yang menjadi subyek penafsir. Setiap turun ayat Al-Qur’an beliau menafsirkannya kepada para sahabat, dan ketika para sahabat tidak mengetahui tafsiran suatu ayat, mereka lantas menanyakannya kepada Nabi Muhammad. Sebagaimana sebuah atsar yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud ketika surat al-An’am ayat 86 turun, “orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kedhaliman”. Lantas banyak sahabat yang merasa resah dan gelisah kemudian menanyakannya kepada Nabi Muhammad SAW: wahai Rasulullah, siapakah dari kami yang tidak mendhalimi diri sendiri? Lalu Nabi pun menjawab : tidakkah kalian mendengar apa yang dikatakan oleh seorang hamba Allah yang shaleh “sesungguhnya kemusyrikan adalah benar-benar kedhaliman yang besar (Luqman:13). Jadi yang dimaksud kedhaliman dalam ayat ini adalah syirik[14].
Setelah Nabi Muhammad wafat penafsiran Al-Qur’an diteruskan oleh para sahabat. ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Abdullah bin Abbas, ‘Abdullah bin Mas’ud, dan Ubay bin Ka’ab. Demikian selain ilmu rasmil Qur’an, ilmu tafsir Qur’an pun telah digeluti. Dalam penafsirannya tentulah mereka menyertakan nasikh atau mansukh, asbaabun nuzul, dan gharaibul Qur’an, dan yang lainnya meskipun saat itu belum dirumuskan yang mana kelak semua itu termasuk cabang dari ilmu ‘ulumul Qur’an itu sendiri.

E.     Perkembangan Ilmu Tafsir
Pada masa sahabat dan tabi’in, penafsiran Al-Qur’an belum tersusun secara sistematis dan masih berbentuk riwayat-riwayat hadits nabi SAW, bahkan penafsirannya belum mencapai seluruh ayat dalam Al-Qur’an. Pembahasan tafsir hanya sekedar memahami ma’na lafal dan belum ada pembahasan mendalam terkait dengan lafal yang ditafsirkan. Akan tetapi perkembangan tafsir pada zaman setelahnya mengalami kemajuan dengan mulai dipisahkannya hadits-hadits yang menafsirkan Al-Qur’an menjadi kitab tafsir dengan penyusunan kitab yang tersendiri.
Adapun ulama yang memulai penyusunan kitab tafsir adalah Ibnu Majah, Ibnu Jarir ath Thabari (Jami’ al Bayan fi Tafsiril Qur’an), Abu Bakar Ibnul Mundzir an Naisaburi (Tafsirul-Qur’an), Abu al-Laits Nashir ibn Muhammad as Samarqandi (Bahr al Ulum), Abu Ishaq ibn Ibrahim ats Tsa’labi (al Kasyaf wal Bayan ‘an Tafsir), dan lain-lain. Mereka mengumpulkan riwayat-riwayat yang mentafsirkan Qur’an[15] dalam kitab yang tersendiri lalu Riwayat yang mereka kumpulkan sudah mencakup keseluruhan ayat Al-Qur’an dan disusun sesuai dengan sistematika mushaf. Model penafsiran yang dicetuskan oleh ulama pendahulu ini yang disebut tafsir bi al ma’tsur.[16]
Sementara itu, disamping sebagian para ulama menulis tafsir, sebagian yang lain menulis beragam tema yang berkaitan dengan ilmu-ilmu Al-Qur’an. Dalam perkembangan awal mula ilmu tafsir, para ulama hanya membahas secara parsial-parsial dengan tema yang bermacam-macam seperti nasikh mansukh, gharibul-qur’an, asbabun nuzul, munasabah dan lain-lain. Tetapi perkembangan selanjutnya dari hal yang terpisah ini disatukan menjadi ilmu universal yang membahas ilmu tafsir secara menyeluruh dan mencakup aspek-aspek parsianya.
 Pada abad ke 3 beberapa ulama seperti Ali ibn al-Madini menulis tentang (Asbab an Nuzul), Abu Ubaidah al-Qasim tentang (Nasikh Mansukh). Lalu pada abad ke 4 muncul ulama seperti Abu Bakar as Sijistani menulis tentang Gharib Al-Qur’an, Abu Bakar Muhammad ibn al-Qasim al-Anbari tentang Sab’atu Ahruf, dan ulama yang terkenal dengan al-Jaufi (‘Ali ibn Ibrahim ibn Sa’ad) menulis kitab al-Burhan fi ‘Ulum al Qur’an, terdiri dari 30 jilid tetapi yang lestari sampai sekarang hanya 15 jilid saja. Maka kitab inilah yang pertama kalinya membahas ilmu tafsir secara khusus.
 Pada abad ke 5 muncullah ulama seperti ‘Ali ibn Ibrahim ibn Said al-Hufi yang menulis tentang I’rab al Qur’an, Abu Amr ad Dani menulis tentang Qira’at al-Qur’an. Pada abad ke 6 muncul Abu Qasim ibn Abdir Rahman as Subaili menulis tentang Mubhamaat Al-Qur’an, Ibnul Jauzi menulis tentang ‘Ajaib al-Qur’an. Pada abad ke 7 penulisan ilmu-ilmu Al-Qur’an semakin pesat perkembang, pada masa ini muncullah Alamudin as Sakhawi menulis tentang Ilmu Qiraat, Ibnu Abdis Salam menulis tentang Ilmu Majazil Qur’an dan beberapa ulama lain yang tidakbisa disebutkan secara kompleks.
Abad ke 8, disusunlah kitab yang membahas ‘ulumul qur’an secara kompleks dalam pembahasan yang menyeluruh setelah beberapa abad hanya ada kitab yang membahas ‘ulumul qur’an secara parsial. Yaitu kitab al Burhan fi Ulum al Qur’an.  Kitab ini ditulis oleh Al Imam Badr ad Dien Muhammad bin Abdillah az Zarkasyi yang membahas 47 tema ‘ulumul qur’an mulai dari asbabun nuzul, munaasabatul ayat, makki dan madani, qiraat dan lain-lain sampai dengan adawaat.
Pada abad ke 9 muncul al Hafidz Jalaluddin Abdurrahman as Suyuti yang menyelesaikan tulisannya (at Tahrib fi Ulum al-Qur’an) pada tahun 872 H. didalamnya dibahas 102 masalah mengenai ‘ulumul qur’an, akan tetapi pembahasan ini dinilai kurang kompleks sehingga ia menulis kebali suatu karya yang membahas ‘ulumul qur’an lebih dalam dan sistematis dengan 80 tema pembahasan, dan disusun dalam empat jilid. Yaitu kitab al –Itqan fi Ulum al-Qur’an. Kitab ini dinilai oleh para ulama sebagai puncak karya yang membahas ‘ulumul qur’an. Dengan meninggalnya as Suyuti sepertinya terputus pula perkembangan ‘ulumul qur’an selama beberapa abad mendatang.[17]
Barulah abad ke 14 sampai sekarang, pembahasan ‘ulumul qur’an mulai merebak lagi dengan bukti adanya beberapa ulama yang terdorong untuk menulis karya yang membahas ‘ulumul qur’an. Beberapa diantaranya ialah:
Ø  Syeikh Thahir al-Jaza’iri menyusun kitab at Tibyan fi ‘Ulum al –Qur’an yang diselesaikan pada tahun1335.
Ø  Jamaluddin al-Qasimi menyusun Mahasin at Ta’wil.
Ø  Muhammad Abdul ‘adzim az Zarqani menyusun menyusun kitab Manahil al ‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an (jilid 2).
Ø  Sayyid Quthb menyusun kitab at Tashwir al Fanni fi al-Qur’an.
Pembahasan-pembahasan tersebut lalu dikenal dengan ‘ulumul qur’an. Dan nama inilah yang menjadi sebutan khusus untuk ilmu-ilmu yang telah dibahas dengan berbagai nama dan pembahasan tersebut.
F.     Wacana Rekontruksi Ilmu Tafsir
Memasuki era modern ada sekelompok intelek menganggap ilmu tafsir yang dahulu digunakan para ulama klasik dalam menafsirkan Al-Qur’an harus direkontruksi ulang. Karena metode tafsir klasik telah dianggap usang dan tidak relevan terhadap zaman modern ini. Lalu minoritas orang ini mencari jalan, memutar otak, yang akhirnya menemukan jalan keluar dari masalah ini dengan menggunakan hermeneutika yang merupakan metode tafsir bible sebagai alat tafsir untuk Al-Qur’an.
Penggunaan hermeneutika sebagai muka baru metode tafsir telah menjadi sosok monster yang siap mengahancurkan keabsolutan Islam. Pemahaman falsafah hermeneutika ini telah menjadi buldoser peling efektif yang berada dibalik usaha sekulerisasi dan liberalisasi Islam dengan cara yang masif.[18] Penerapan hermeneutika digunakan para agen liberal untuk mengkooptasi dan menggusur nilai-nilai Islam yang tsawabit supaya sesuai dengan worldview barat yang sekuler untuk diaplikasikan dalam kehidupan umat Islam.
Dalam perkembangannya hermeneutika telah menyilaukan, membius dan menyulap para cendekiawan muslim lingkup internasional maupun regional. Baik para mahasiswa bahkan dosen di universitas-universitas negeri maupun swasta. Maka alangkah baiknya disini dibahas mengenai salah satu khutwah setan ini untuk membentengi diri dari penyesatan opini yang telah menidurkan banyak kawula muda akan bahaya sekulerisasi yang merupakan akibat dari penggunaan hermeneutika.
Pengertian etimologi hermeneutika diadopsi dari bahasa yunani, “Hermeneuin”, yang berarti tafsir, penjelasan serta penerjemahan.[19] Tetapi ada juga yang berpendapat kata hermeneutika berasal dari bahasa inggris, “hermeneutics” kata yang sebelumnya dipinjam dari bahasa Yunani kuno, Hermeneuticos”.[20]
Maka definisi hermeneutika secara terminologi diartikan dengan penafsiran teks secara umum dengan mengutamakan aspek rasio untuk mentransmisikan maksudnya dan disesuaikan dengan kondisi kontemporer agar sampai pada pemahaman maksud teks.
Kata hermeneutik, sering diidentikan dengan dewa Hermes dalam mitologi Yunani sebagai sosok dewa yang mempunyai tugas menafsirkan kalam Tuhan. Oleh karenanya hermeneutika dianggap sebagai media penafsiran kalam dewa yang masih samar dalam satu sisi, dan sebagai penafsir teks-teks mitologi dalam pengertian lain. [21]
Jika dipindahkan ke dalam ranah teologi, maka diketahui bahwa wahyu merupakan kalam Tuhan, dan bahasa ketuhanan yang tidak jelas sangat membutuhkan penjelasan tentang kehendak Tuhan agar sampai pada pemahaman maksud wahyu itu. Menurut Muhammad Arkoun, hermeneutika adalah metode interpretasi epistemologis terhadap wahyu Allah dan Al-Qur’an. Tetapi menurutnya wahyu disini tidak terbatas. Ia pun mencoba menggunakan pendekatan linguistik untuk membenarkan pendapatnya ini. Logika Arkoun yang tercemar pemikiran Paul Ricouer lalu memilah beberapa tahap. Menurutnya, Al-Qur’an yang merupakan kalamullah sebagai logos (pengetahuan) tidak terbatas. Namun ketika kalam itu ditransmisikan kepada utusanNya untuk disampaikan kepada umatnya, itu hanyalah penggalan dari kalamullah yang tidak terbatas.
Dari sini muncullah pemilahan wahyu verbal dan non verbal.[22] Dengan demikian Arkoun berkesimpulan wacana qur’an telah direduksi dari semulanya sebagai Prophetic Discours menjadi Corpus Officiel Clos karena factor sosial dan alasan politik, bukan karena kehendak Tuhan. Setelah menjadi Corpus Officiel Clos, yang kini dibukukan dalam Mushaf Utsmani. Menurutnya, umat Islam saat ini cenderung menggunakan Corpus Officiel Clos daripada wacana qur’an yang pertama (yang disampaikan Allah kepada nabi Muhammad).
Dengan episteme ini, keabsahan Al-Qur’an sebagai sumber otoritatif digugat. Melalui pendekatan sosio-historis ia berpendapat bahwa Al-Qur’an merupakan subject to historicity, karenanya harus didekonstruksi sebagaimana pendapat Jacques Derrida. hal senada juga diucapkan oleh Fazlur Rahman yang mengklaim Al-Qur’an adalah both the word of God and the word of Muhammad, dan oleh Nashr Hamid Abu Zaid dikatakan Al-Qur’an hanyalah sebatas Muntaj Tsaqafi.[23]
Dampak dalam penggunaan hermeneutik sangatlah berbahaya, dimana penafsir akan merasa ragu terhadap kebenaran Islam yang absuolut. Kerap kali mereka menggunakan jargon-jargon populer seperti “agama adalah mutlak, pemikiran agama adalah relatif”, “akal manusia relatif, hasil berpikirnya pun relatif” dan lain-lain. Sekilas jargon ini logis, tetapi efeknya akan merelatifkan semua pemikiran manusia walaupun bersumber dari wahyu.[24]
Berikut contoh akademisi muslim yang beranggapan kebenaran bersifat relatif.
Statemen dari Muhammad Amin Abdullah:
“Dengan sangat intensif hermeneutika berusaha membongkar kenyataan bahwa siapapun orangnya, kelompok apapun namanya, kalau masih pada level manusia, pastilah terbatas, parsial-kontekstual pemahamannya, serta bisa saja keliru. Hal ini tentu berseberangan dengan keinginan egois hampir semua orang untuk selalu benar”.[25]
Dr. Ali Harb dalam komentar terhadap bukunya mengatakan:
“Tidak ada satupun school of tought yang berhak mengklaim dirinya sebagai satu-satunya kebenaran dan menafikan kebenaran lainnya”.[26]
Abdul Mustaqim dalam bukunya mengeluarkan pernyataan:
“Dengan kata lain, pikiran mufassir yang bersifat relatif tidak akan mampu meng-cover seluruh pemikiran Tuhan yang bersifat mutlak. Karenanya, menganggap kemutlakan sebuah penafsiran dapat dikatakan dosa (syirik intelektual)”.[27]
Jika saja pendekatan yang digunakan oleh Amin Abdullah tersebut diterima, maka jelas akan membongkar ilmu-ilmu agama. Dalam bidang tafsir misalnya, hasil penafsiran dituangkan oleh mufassir dengan akalnya, apabila menurutnya kebenaran akal itu relatif, maka jelaslah tafsiran para mufassir terdahulu akan dianggap relatif, tidak qath’I, dan tidak pasti kebenarannya karena semua bersifat dzanniy (relatif).[28]
Dalam kajian ushul fiqh tentu para ulama ushul merumuskan qaidah fiqhiyyah menggunakan rasio sehat mereka. Tetapi apabila dikatakan pikiran manusia itu relatif kebenarannya, maka qaidah ushul maupun qaidah fiqh semua tertolak dan tidakbisa direalisasikan dalam kehidupan modern. Karena menilik aspek kontekstual mereka merumuskannya ketika zaman klasik, ditanah Arab. Hasilnya adalah kaidah-kaidah yang ada tidak relevan jika diaplikasikan di Indonesia ketika zaman telah berubah.
Sangat menarik pula untuk mengkaji pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid yang terkenal dengan ucapannya “Al-Qur’an sebagai produk budaya” (muntaj tsaqafi) untuk memperjelas dampak pengaplikasian konsep hermeneutika dalam menafsirkan Al-Qur’an. Kajian yang ia lakukan sebenarnya hanya membajak tradisi Kristen dalam menafsirkan kitab suci mereka. Yaitu dengan menggunakan kajian kritis bible, dalam kajian kritis terhadap bible, para orientalis sebenarnya masih meragukan keotentikan Al-Qur’an sehingga teks yang ada harus direkontruksi ulang.
Hal ini bertolak belakang dengan tradisi umat Islam dalam menelaah Al-Qur’an. Dimana para mufassirin tidak pernah menanyakan keotentikan Al-Qur’an dan meyakini bahwa Al-Qur’an sebagai lafzhan wa ma’nan dari Allah. Karena Al-Qur’an telah tercatat dengan baik sejak masa nabi. Bahkan pada masa itu para sahabat dilarang untuk menulis (apa yang ia ucapkan) selain Al-Qur’an karena dikhawatirkan akan tercampur satu dengan yang lain.[29]
Nampaknya para pemuka cendekiawan Kristen menjadi resah, mengapa telaah kritis terhadap bible sangat pesat, tetapi tidak berlaku untuk menelaah Al-Qur’an. Lalu muncullah dorongan kuat dikalangan orientalis-misionaris untuk menempatkan posisi Al-Qur’an sama dengan posisi bible. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Iraq dan guru besar Universitas Birmingham Inggris:
“Sudah saatnya melakukan telaah kritis terhadap teks Al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan kepada kitabsuci ahudi yang berbahasa Ibrani, dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani.”[30]
Sehingga usaha merekapun berakhir manis, dengan terpengaruhnya beberapa intelektual muslim yang menggunakan metodologi penafsiran bible untuk diaplikasikan terhadap Al-Qur’an. Diantaranya adalah Nasr Hamid Abu Zaid, Muhammed Arkoun, dan lain-lain. Berikut pemaparan singkat tentang pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid:
Fokus bahasan yang dilakukan olehnya berkutat seputar teks, ia mengatakan peradaban Islam adalah peradaban teks.[31] Dalam bahasa lain, ia menganggap Al-Qur’an sebagai teks linguistik dan produk budaya yang bertolak belakang dari dan oleh batasan realita adalah titik tolak pemberangkatan Nasr Hamid dalam melontarkan historisitas penakwilan arti dan hukum-hukum dalam Al-Qur’an.[32] Makanya hasil tafsiran yang diintisarikan dari Al-Qur’an harus sesuai dengan realita suatu masa.
Metode kritik sastra yang ia terapkan merupakan bagian dari metode hermeneutika yang ia ketahui semenjak ia berada di Universitas Pensylvania, Piladelphia pada kurun tahun 1978-1980.[33] Menurutnya teks Illahi telah berubah menjadi teks manusiawi  karena bahasa Tuhan tidak bisa difahami dengan bahasa manusia, sehingga naskah yang awalnya berbentuk naskah ilahi berubah menjadi naskah manusiawi.
            Dalam kajiannya terhadap Al-Qur’an ia banyak mengambil teori-teori dari mu’tazilah dan metode hermeneutika. Sebagai seorang hermenet, maka ia mulai mengkaji teks tentang corak dan makna yang terkandung didalamnya. Dengan hasil deduksi tentang teks maka akan diketahui kondisi pengarang teks tersebut. Apabila metode ini diaplikasikan atas bible, maka tidak menjadi suatu problem. Tetapi jika Al-Qur’an menjadi objeknya, apa yang akan terjadi, sedangka dalam Al-Qur’an tidak ada istilah pengarang Al-Qur’an.
            Berangkat dari sini ia tampil cerdas dengan mendistorsi sejarah, mengatas namakan Nabi Muhammad sebagai pengarang Al-Qur’an. Dalam buku yang ia tulis “Mafhum al-Nash” ia mengatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada Muhammad yang merupakan manusia. Ia sebagai penerima dan penyampai adalah sebagai realitas dan bagian dalam masyarakat. Ia adalah buah dan produk dari komunitas masyarakat saat itu. Dengan demikian kata Nasr Hamid, membahas penerima pertama berarti tidak menganggapnya sebagai penerima pasif. Membicarakannya berarti membicarakan seorang manusia yang dalam dirinya terdapat harapan-harapan dari komunitas yang bersangkutan. Intinya, Muhammad adalah sebagai bagian dari social-budaya, dan sejarah masyarakat.
            Dengan definisi seperti ini, berarti ia telah memposisikan nabi Muhammad sebagai pengaang wahyu. Artinya, biarpun risalah itu dari Tuhan, tetapi redaksi lafazh berasal dari nabi Muhammad. Konsep Nashr Hamid yang menyatakan “Al-Qur’a sebagai spirit wahyu dari Tuhan” sama persis dengan konsep bible, bahwa “The Whole Bible is given by inspiration of god”. Pemahaman seperti ini akan berimbas pada persepsi orang terhadap Islam dengan menyebut Islam sebagai “Agama Muhammad”, dan hukum Islam disebut “Muhammedan Law” dan pengikut Islam disebut sebagai “Muhammedan”.[34]
            Memang posisi nabi Muhammad adalah sebagai penyampai wahyu yang pasif, tetapi ia hanya berperan dalam penyampaian wahyu kepada umatnya, beliau tidaklah menyampaikan Al-Qur’an kecuali apa yang telah diwahyukan kepadanya. Hal ini terbukti karena beliau adalah seorang yang ‘ummiy dalam tulisan, dan ma’shum dalam perbuatannya. Al-Qur’an menyebutkan:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى(4)
Dan tidaklah dia (Muhammad) menyampaikan perkataan atas dasar hawa nafsu, kecuali atas dasar wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (Q.S An-Najm 3-4)
            Teks Al-Qur’an memang diturunkan dengan bahasa Arab, dan beberapa berbicara masalah budaya waktu itu. Tetapi apakah bisa Al-Qur’an dinilai sebagai kitab budaya? Padahal sebenarnya Al-Qur’an turun dengan membawa budaya baru. Budaya yang menentang budaya yang telah ada sebelumnya (jahliyah) dengan mengusung prinsip dan pola peradaban baru. Istilah dalam Al-Qur’an meskipun datang dengan bahasa Arab, tetapi membawa makna baru yang berbeda dengan pemahaman orang Arab waktu itu.
            Para pemikir diatas telah mencoba merekontruksi bangunan ilmu tafsir yang telah kokoh sesuai dengan rumusan para ulama klasik dengan menggunakan hermeneutik sebagai solusi. Tetapi pada tataran realita sebenarnya mereka telah melakukan dekontruksi dan pelucutan terhadap nilai-nilai Islam yang fundamental.
           
           








BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
kata ‘ulumul qur’an berasal dari 2 kata yaitu ulum dan Al-Qur’an, kata “ulum” merupakan jamak dari kata  “ilmu”. Yang memiliki arti kefahaman. Dan Al-Qur’an yang dinisbatkan pada kitab suci umat Islam. Sedangkan secara terminologi yang lebih menampung perbedaan adalah pendapat ‘Ali ash-Shabuni :
“Pembahasan-pembahasan yang berhubungandengan kitab Al-Qur’an yang mulia baik dari segi turunnya, pengumpulannya, penyusunannya, pembukuannya, dan mengetahui sebab turunnya, pengetahuan tentang makki dan madani, nasakh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih dan lain sebagainya dari pembahasan-pembahasan yang banyak yang berhubungan dengan Al-Qur’an yang agung atau yang mempunyai hubungan dengannya.”[35]
Ruang lingkup dalam pembahasan ‘ulumul qur’an sangatlah banyak diantaranya nasakh dan mansukh, asbabun nuzul, gharibul qur’an dan lain-lain. Para ulama ada yang membahas 80 hal dan ada yang lebih. Bahasan dalam ‘ulumul qur’an ini melingkupi semua bidang ilmu yang bertujuan memudahkan penafsir untuk menafsirkan ayat.
Sejarah perkembangan ‘ulumul qur’an telah dimulai sejak zaman nabi. Tetapi pada masa awal-awal Islam ini, ‘ulumul qur’an hanyalah berupa dasar-dasar teori saja. Karena para sahabat belum sepenuhnya membutuhkan untuk dikodifikasi. Barulah pada zaman-zaman setelahnya ‘ulumul qur’an telah dirumuskan dalam suatu disiplin ilmu tersendiri.
Dalam perkembangan zaman, para cendekiawan muslim dengan sangat kontroversi menganggap metode penafsiran klasik sebagai metode yang jadul, tidakbisa mengikuti perkembangan zaman yang kian modern. Maka dengan segala usaha, mereka mencoba memperkosakan metode bible untuk diaplikasikan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Maka hasilnya adalah beberapa ayat mereka ta’wilkan sesuai rasio manusia dengan dilandasi aspek kontekstual.
Secara nalar sederhana, memang pendapat mereka sangat logis dan hasil pemikiran mereka telah merasuk ke dalam cara berpikir para cendekiaawan muslim baik akademisi maupun khalayak ramai. Maka yang terjadi adalah maraknya pemikiran-pemikiran liberal yang berujung pada usaha sekulerisasi.



[1] Q.S Al-Hijr : 9
[2] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an,Bandung: Mizan, 1994, hal. 83.
[3] Mudzakir AS, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 2013, hal. 17
[4] Manna Khalil al-Qaththan Mabahis fi ‘Ulum Al-Qur’an, hal 15
[5] Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an, Yogyakarta: ITQAN Publishing, 2013 hal. 2
[6] Rosihan Anwar, Ulum Al-Qur’an, Bandung: CV Pustaka Setia, 2013 hal. 13
[7] Muhammad Ali ash-Shabuni, At-Tibyan fi ‘Ulumil Qur’an, Beirut: Daarul Kutub al-Islamiyah, hal. 8
[8] Mudzakir AS, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Bogor: Pustaka Litera Antarnusa,2013, hal. 7
[9] Rosihan Anwar, Ulum Al-Qur’an, Bandung: CV Pustaka Setia, 2012, hal. 13
[10] Muhammad Ali ash-Shabuni, At-Tibyan fi ‘Ulumil Qur’an, Beirut: Daarul Kutub al-Islamiyah, hal. 8
[11] Lihat Yunahar Ilyas, kuliah ulumul qur’an, hlm. 5.
[12] Beberapa sahabat menulis dengan inisiatif sendiri dan sebagian lain atas perintah nabi Muhamad SAW. Sahabat yang dikenal penulis wahyu antara lain: Abu Bakar ash Shidiq (w.13 H), Umar bin Khattab (w. 23 H), Utsman bin Affan (w. 35 H), Ali bin Abi Thalib (w. 40 H), Mu’awiyah bin Abi Sufyan (w. 60 H), Zaid bin Tsabit (w. 45 H), Ubay bin Kaab (w.32 H), Khalid bin Walid (w. 23 H), dan Tsabit bin Qais radhiyallahu’anhum. Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an (Yogyakarta: ITQAN PUNLISHING, 2013) hlm. 6.
[13] Karena pada saat itu terjadi perbedaan bacaan qur’an yang menjadikan banyak insiden antar umat Islam. Sebagian umat Islam mengklaim qiraatnya yang paling benar dan menganggap yang lain salah.
[14] Manna’ Khalil al-Qatan, Studi Ilmu-Ilmu qur’an (terjemah Mabahits fie Ulumil Qur’an), Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2013.
[15] Baik dari nabi Muhammad, sahabat, maupun tabi’in.
[16] Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an,   (Yogyakarta: ITQAN PUNLISHING, 2013)  hlm. 7 dengan mengutip kitab Husain adz Dzahabi, at-Tafsir wal Mufassirun.
[17]  Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an,   (Yogyakarta: ITQAN PUNLISHING, 2013)  hlm. 8 dengan mengutip kitab Az Zarqani, Manahil al ‘Irfan fi Ulum Al-Qur’an.
[18] Muqadimah Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal, Depok: Perspektif, 2010.
[19] Ibid, hlm. 51.
[20] Hafizh Abdur Rahman, Ulumul Qur’an Praktis, Bogor: CV Idea Pustaka Utama, 2004. Hlm. 217.
[21] Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal, depok: Perspektif, 2010, hal. 52.

[22] Hafizh Abdur Rahman, Ulumul Qur’an Praktis, Bogor: CV Idea Pustaka Utama, 2004. Hlm. 220-221.
[23] Ibid, hlm. 221.
[24] Adian Husaini, Hegemoni Kristen Barat Dalam Studi Islam Perguruan Tinggi, Depok: Gema Insani, 2006, hal. 195.
[25] Ibid, mengutip pengantar M.Amin Abdullah untuk buku Hermeneutika Al-Qur’an:Tema-tema Kontroversial, karya Fahrudin Faiz, (Yogyakarta: elSAQ Press, 2005).
[26] Ali Harb, Relativisme Kebenaran, Yogyakarta: IRCISoD, 2006.
[27] Abdul Mustaqim dalam pembukaan buku, Tafsir feminis Versus Tafsir Patriarki, Yogyakarta: Sabda Persada Yogyakarta, 2003.
[28] Adian Husaini, Hegemoni Kristen Barat Dalam Studi Islam Perguruan Tinggi, hlm. 196.
[29] Adian Husaini, Wajah Peradaan Barat, Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekular-Liberal, Depok: Gema Insani, 2005, hal. 304-307.
[30] Ibid, hal. 307.
[31] Ibid, hal. 308.
[32] Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi Al-Qur’an kaum liberal, hal. 298.
[33] Adnin Armas, Metodologi Bibel Dalam Studi Al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani Press, 2005, hal. 70.
[34] Adian Husaini, Wajah Peradaan Barat, Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekular-Liberal, Depok: Gema Insani, 2005, hal. 309-310.
[35] Muhammad Ali ash-Shabuni, At-Tibyan fi ‘Ulumil Qur’an, Beirut: Daarul Kutub al-Islamiyah, hal. 8


Disusun oleh : Abu Rizal Fakhrudin dan Arif Fakhruddin

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama