BAB I
PENDAHULUAN
a.
Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan oleh Allah yang harus
dipalajari karena Al-Qur’an diturunkan sebagai tuntunan bagi umat Islam.
Dinamisasi ilmu pada masa klasik telah membuktikan secara intelektualitas bahwa
Al-Qur’an merupakan satu-satunya kitab suci yang tidak hanya menjadi kompas
dalam kehidupan religius tetapi dalam perkembangan sains, Al-Qur’an memiliki
peran yang sangat besar.
Para intelek muslim saat itu telah mengembangkan kitab suci ini
menjadi beragam macam ilmu. Tetapi dalam pembahasan kali ini hanya akan dibahas
definisi, perkembangan ilmu tafsir Al-Qur’an dari masa kemasa, ruang lingkup
pembahasan, tujuan, hingga usaha segelintir manusia yang ingin merekontruksi
bangunan ilmu tafsir yang telah baku.
Masalah bermula setelah kematian nabi Muhammad SAW sebagai utusan
Allah sekaligus penunjuk jalan umat saaat itu. Karena tiada penunjuk jalan
dikala gulita, tak ada tempat untuk bertanya, maka setelah beliau wafat
mengharuskan umat muslim untuk mandiri dalam menggali makna-makna yang
terkandung dan tersimpan dalam Al-Qur’an untuk diaplikasikan dalam realita
kehidupan. Hal ini mendorong para ulama klasik untuk merumuskan kaidah-kaidah
tafsir yang akan memudahkan manusia yang hidup setelah mereka.
Dalam pembahasan ilmu tafsir tentunya tidak semua ulama
mendefinisikan hal yang sama satu sama lain. Karena hal ini bisa didasari oleh
keadaan geografis, sosiologis, politik, dan banyak hal lain. Tetapi dengan
perbedaan itu telah menjadikan umat muslim klasik maupun kontemporer membuka
mata lebar-lebar dalam mempelajari ilmu ini.
b.
Batasan Masalah
Permasalahan dalam ilmu tafsir, dinamika dan pembahasannya
sangatlah kompleks, maka dengan hanya tulisan singkat ini tidak akan menampung
semua aspek permasalahan yang ada. Melainkan pembahasan yang sangat mendasar, yang
sering dilupakan, yang akan diutamakan dalam karya singkat ini.
Dalam litertur yang diketemukan hanyalah membahas ahli-ahli lingkup
internaasional. Sedangkan para ahli di kalangan nasional masih menjadi tanda
Tanya besar dalam perkembangannya. Walaupun sebenarnya para ahli dalam kancah
nasional memiliki sumbangsih dalam dinamisasi ilmu tafsir, tetapi mengingat
keterbatasan intelektualitas dan referensi membuatnya menjadi misteri. Untuk
lebih mengoptimalkan teks, maka berikut pembahasannya.
BAB II
PEMBAHASAN
Al-Qur’an
adalah wahyu Tuhan dengan kebenaran mutlak yang menjadi sumber ajaran Islam.
Al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat Islam
yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar. Ia berfungsi untuk memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi
manusia, baik secara pribadi maupun kelompok. Ia juga menjadi tempat pengaduan
dan pencurahan hati bagi yang membacanya, dan memberikan manfaat dan
dampak luar biasa bagi kehidupan manusia. Dalam kedudukannya sebagai kitab suci
dan mukjizat bagi kaum muslimin, Al-Qur’an merupakan sumber keamanan, motivasi,
dan inspirasi, sumber dari segala sumber hukum yang tidak pernah kering bagi
yang mengimaninya. Al-Qur’an bagaikan sinar matahari yang menyinari kepada
seluruh makhluk ciptaan Allah SWT ia akan menghangati semua makhluk yang
terkena sinarnya dan ia tak akan pernah hilang sampai hari akhir nanti. Di
dalamnya terdapat dokumen historis yang merekam kondisi sosiologi, ekonomi,
religius, ideologis, politis, dan budaya dari peradaban umat manusia sampai
abad ke VII masehi. Dan ia merupakan kitab yang dijamin keotentikannya oleh
Allah SWT dan ia adalah kitab yang selalu di pelihara.
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah
yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”[1]
Jika
demikian halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an melalui
penafsiran-penafsiran, memiliki peranan sangat besar bagi maju atau mundurnya pradaban umat, menjamin
istilah kunci untuk membuka gudang simsimpani yang tertimbun dalam Al-Qur’an.[2]
Sebagai
pedoman hidup untuk segala zaman, dan dalam
berbagai aspek kehidupan manusia, Al-Qur’an merupakan kitab suci yang terbuka (open
ended) untuk dipahami, ditafsirkan dan dita’wilkan dalam perspektif metode
tafsir maupun perspektif dimensi-dimensi kehidupan manusia. Dari sini muncullah
ilmu-ilmu untuk mengkaji Al-Qur’an dari berbagai aspeknya, termasuk di dalamnya
ilmu tafsir/’ulumul qur’an.
A.
Definisi Ilmu Tafsir/’ulumul Qur’an
Para pakar ilmu tafsir banyak memberi
pengertian baik secara etimologi maupun terminologi terhadap term tafsir/’ulumul
qur’an. Secara etimologi kata ‘ulumul qur’an berasal dari 2 kata yaitu ulum dan
Al-Qur’an, kata “ulum” merupakan jamak dari kata “ilmu”. Ilmu yang dimaksud disini adalah
sejumlah pembahasan yang dibatasai oleh sebuah tema. Sedangkan Al-Qur’an,
sebagiamana para ulama mendefinisikan bahwa Al-Quran adalah kalam atau firman
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang pembacaannya mengandung ibadah.[3]
Dengan demikian, secara etimologis ‘ulumul Qur’an adalah ilmu
(pembahasan-pembahasan) yang berkaitan dengan Al-Qur’an.
Sedangkan
secara terminologi penulis akan mengungkapkan pendapat para pakar, diantaranya
:
Ø Manna
al-Qaththan menyebutkan dalam kitabnya
العلم
الذي يتناول الأبحاث امتعلقة بالقرآن من حيث معرفة اسباب النزول و جمع القرآن و
رتيبه و معرفة المكي و المدني و الناسخ و المنسوخ و المحكم و المتشابه إلى غير ذلك
مما له صلة بالقرآن
“Ilmu yang meliputi beberapa ppembahasan yang berkaitan dengan
Al-Qur’an, baik dari segi pengetahuan tentang sebab-sebab turun ayat,
pengeumpulan Al-Qur’an dan penyusunannya, pengetahuan tentang makki dan madani,
nasakh dan mansukh, muhkan dan mutasyabih dan lain sebagainya yang berhubungan
dengan Al-Qur’an.”[4]
Ø Menurut
Muhammad ‘Abd al-Azhim az-Zarqani
مباحث تتعلق بالقرآن
الكريم من ناحية نزوله و ترتيبه و جمعه و كتابته و قراءته و تفسيره و إعجازه و
ناسخه و منسوخه و دفع الشبح عنه و نحو ذلك
“Beberapa pembahasan yang berlaitan dengan Al-Qur’an al-Karim, baik
dari segi turunnya, susunannya,
pengumpulannya, penulisannya, qiraahnya, tafsirnya, kemukjizatannya,
nasakh dan mansukhnya, dan menolak
tuduhan-tuduhan terhadapnya dan lain-lain semacamnya.”[5]
Ø Menurut Abu
Syaibah
علم ذومباحث تتعلق
بالقرآن الكريم من حيث نزوله و ترتيبه و جمعه و كتابته و قراءته و تفسيره و إعجازه
و ناسخه و منسوخه و المحكم و المتشابه إلى غير ذلك من المباحث التى تذكر في هذا
العلم
“Sebuah ilmu yang membahas banyak objek pembahasan yang berhubungan
dengaaan Al-Qur’an mulai proses penurunan, urutan, penulisan, penulisan,
kodefikasi, cara membaca, penafsiran, kemukjizatan, nasikh-mansukh,
muhkam-mutasyabih, sampai pembahasan-pembahasan lain.”[6]
Ø Menurut
Muhammad Ali ash-Shabuni
الأبحاث
التى تتعلق بهذا الكتاب المجيد الخالد من حيث نزول و الجمع و الترتيب و التدوين و
معرفة أسباب النزول و المكي منه و المدني و معرفة الناسخ و المنسوخ و المحكم و
المتشابه و غير ذلك من الأبحاث الكثيرة التى تتعلق بالقرآن العظيم أو لها صلة به
“Pembahasan-pembahasan yang berhubungandengan kitab Al-Qur’an
yang mulia baik dari segi turunnya,
pengumpulannya, penyusunannya, pembukuannya, dan mengetahui sebab turunnya,
pengetahuan tentang makki dan madani, nasakh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih
dan lain sebagainya dari pembahasan-pembahasan yang banyak yang berhubungan
dengan Al-Qur’an yang agung atau yang mempunyai hubungan dengannya.”[7]
Melihat
dari definisi yang dikemukakan oleh para ulama walaupun dengan redaksi agak
sedikit berbeda definisi diatas mempunyai maksud dan tujuan yang sama. Para
ulama diatas telah sepakat bahwa ‘‘ulumul Qur’an adalah pembahasan-pembahasan
yang berkaitan dengan Al-Qur’an. Jika dilihat dari segi makna bahasa saja, maka
semua ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an itu disebut dengan ‘‘ulumul
Qur’an. Tetapi dalam perkembangannya, sekalipun ilmu-ilmu itu berasal dari
kajian terhadap Al-Qur’an, tetapi seriring berjalannya waktu ilmu itu menjadi
berdiri sendiri maka ilmu itu tidak di masukan kedalam ‘‘ulumul Qur’an.
Misalnya seperti ilmu nahwu dan sharf sekalipun pada awalnya ia berasal dari
kajian terhadap Al-Qur’an tetapi dengan berjalannya waktu ilmu tersebut
berkembang sehingga menjadi ilmu yang berdiri sendiri, maka ilmu nahwu dan
sharf tidak dimasukan kedalam ‘‘ulumul Qur’an. sebagaimana dengan
akidah, memang pada dasaranya ilmu akidah itu bersumber dari Al-Qur’an tapi
lama kelamaan ilmu itu menjadi ilmu tersendir maka dengan demikian ilmu akidah
tidak termasuk ke dalam ‘‘ulumul Qur’an.
Menurut
Al-Zarqani istilah ‘‘ulumul Qur’an pertama kali dimunculkan
oleh Al-Hufi pada abad V H dengan membukukan sebuah kitab yang berjudul Al-Burhan
fi ‘Ulumil Qur’an yang terdiri dari 30 jilid.[8]
Tapi berbeda dengan Al-Zarani ada yang berpendapat bahwa istilah ‘‘ulumul
Qur’an pertama kali muncul pada tahun VI H. Oleh Abu al-Farj bin al-Jauzi
dengan menulis sebuah kitab yang berjudul Fununul Afnan fi ‘Aja’ibi ‘‘ulumul
Qur’an.[9]
‘‘ulumul
Qur’an merupakan bagian dari ilmu syari’at yang paling mulia dan paling tinggi
kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang merupakan sumber
segala hikmah, serta petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. ‘‘ulumul
Qur’an telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang hingga zaman modern
sekarang ini. Kebutuhan akan ‘‘ulumul Qur’an semakin mendesak lantaran untuk menyempurnakan
keberagamaan dapat diraih apabila sesuai dengan syari’at, sedangkan kesesuaian
dengan syari’at bannyak bergantung pada pengetahuan terhadap Al-Qur’an, kitabullah.
Demikian
ulasan mengenai definisi ‘ulumul qur’an. Hal ini menjadi penting untuk
diketahui, karena pada perkembangan penafsiran akan tampak keragaman dan perubahan
pada kurun waktu tertentu. Dimana ulama modern, tentu akan berbeda melihat
penafsiran dengan ulama klasik. Karena masa, kondisi lingkungan akan
mempengaruhi hasil tafsiran.
B.
Ruang Lingkup Ilmu tafsir/ ‘ulumul Qur’an
Ruang
lingkup ‘‘ulumul Qur’an adalah segala pembahasan mengenai Al-Qur’an.
Mula-mulanya ia membahas tentang pengertian Al-Qur’an baik secara etimologis
maupun terminologis, kemudian membahas tentang bagaimana turunnya Al-Qur’an
dari Allah ke Lauh Mahfuzh, dari Lauh Mahfuzh ke Baitul Izzah, dan dari Baitul
Izzah kepada Nabi Muhammad SAW, dan mngenai surat makkiyah ataupun madaniyah,
serta ukuran ukuran tentang pengelompokan surat makkiyah dan madaniyah. Dan
juga tentang pembahasan mengenai ayat yang pertama turun dan ayat yang turun
terakhir.
Para
ulama juga membahas tentang masalah pengumpulan Al-Qur’an, penulisannya, dan
hafalannya, mulai dri zaman Rosulullah SAW, zaman khalifah Abu Bakar
ash-Shidiq, zaman khalifah Umar bin Khatab, zaman khalifah Utsman bin Affan,
zaman khalifah Ali bin Abi Thalib dan yang lainnya. Para ulama juga menyertakan
mengenai pembahasan tuduhan-tuduhan terhadap Al-Qur’an dan jawaban terhadap
tuduhan-tuduhan tersebut. Kemudian juga dibahas tentang ayat dan surat, berapa
jumlah ayat dan surat-surat yang terdapat didalam Al-Qur’an, dan juga mengenai
masalah penamaan terhadap surat-surat didalam Al-Qur’an.
Selanjutnya
para ulama juga membahas tentang asbab an-nuzul sebuah surat atau ayat yaitu
ketika ada sebuah peristiwa yang terjadi kemudian turunlah Al-Qur’an baik satu
ayat maupun beberapa ayat, bahkan satu surat, ataupun ada sebuah pertanyaan
yang diajukan oleh para sahabat kepada Roslullah SAW kemudian turunlah
Al-Qur’an. Ulama juga membahas tentang turunnya Al-Qur’an
dalam tujuh huruf sebagaimana yang disebutkan dalan hadits
Rasulullah
SAW, apa yang dimaksud dengan tujuh huruf tersebut, dan sejalan dengan itu para
ulama juga membahas tentang masalah qiraah atau cara baca Al-Qur’an, qiraah
mana yang bisa diterima dan mana yang ditolak. Dan juga terdapat pembahasan
tentang persoalan sanad (rangkaian para periwayat), apakah riwayat itu
mutawatir atau tidak, mengenai apakah periwayatan ahad bisa diterima atau
tidak.
Selain
itu juga terdapat pembahasan yang membahas tentang nasikh mansukh didalam
Al-Qur’an, apakah ada nasikh mansukh didalamAl-Qur’an, para ulama berbeda
pendapat tentang permasalahan itu ada yang berpendapat tidak ada nasikh mansukh didalam Al-Qur’an, sebagian
lagi berpendapat bahwa terdapat nasikh mansukh didalam Al-Qur’an, bahkan ada
juga yang sudah menentukan bahwa ayat ini sudan dimansukh oleh ayat lain, ada
juga yang berpendapat dengan mengambil jalan tengah, yaitu menerima tapi dengan
selektif setelah mencoba menggabungkan ayat-ayat yang kelihatannya
bertentangan dengan menggunakan pendekatan
takhsis mukhasis atau yang lainnya. Sebagaimana juga disebutka didalam
definisi ‘‘ulumul Qur’an disana menyebutkan tentang muhkam dan mutasyabih, apa
yang dimaksud dengan muhkan dan apa yang dimaksud dengan mutasyabih.
Selanjutnya
juga dibahas tentang munasabah didalam Al-Qur’an, yaitu hubungan antara ayat
satu dengan yang lainnya, baik itu ayat yang sebelumnya ataupun sesudahnya,
hubungan antara satu surat dengan surat yang lainnya. Dan para ulama juga
membahas tentang kisah-kisah yang terdapat didalam Al-Qur’an, apakah
kisah-kisah yang terdapat didalam Al-Qur’an itu bersifat nyata atau bersifat
fiktif. Kemukjizatan Al-Qur’an turut dibahas oleh para ulama dalam ‘‘ulumul
Qur’an baik itu dari aspek bahasanya, sejarah, ramalan masa depan, dan aspek
ilmu pengetahuannya. Dan yang terakhir juga dibahas tentang masalah tafsir.
C.
Tujuan ‘‘ulumul Qur’an
Adapun tujuan dari ‘‘ulumul Qur’an,[10]
adalah:
1.
Agar dapat memahami kalam Allah ‘Aza Wajalla sejalan dengan
keterangan yang dikutip oleh para sahabat dan para tabi’in tentang
interprestasi mereka terhadap Al-Qur’an.
2.
Agar mengetahui cara dan gaya yang digunakan oleh para mufassir
(ahli tafsir) dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan disertai penjelasan tentang
tokoh-tokoh ahli tafsir yang ternama serta kelebihan-kelebihannya.
3.
Mengetahui cara mufasir dalam penafsiran mereka beserta
uslub-uslubnya
4.
Agar mengetahui persyaratan-persyaratan dalam menafsirkan
Al-Qur’an.
5.
Mengetahui ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan dalam menafsirkan
Al-Qur’an.
Hubungan ‘‘ulumul
Qur’an dengan tafsir juga dapat dilihat dari beberapa hal yaitu:
a.
Fungsi ‘‘ulumul Qur’an sebagai alat untuk menafsirkan, yaitu:
1)
‘ulumul Qur’an akan menentukan bagi seseorang yang membuat syarah
atau menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara tepat dapat dipertanggung jawabkan.
Maka bagi mafassir ‘‘ulumul Qur’an secara mutlak merupakan alat yang harus
lebih dahulu dikuasai sebelum menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.
2)
Dengan menguasai ‘‘ulumul Qur’an seseorang baru bisa membuka dan
menyelami apa yang terkandung dalam Al-Qur’an.
3)
‘‘ulumul Qur’an sebagai kunci pembuka dalam menafsirkan ayat
Al-Qur’an sesuai dengan maksud apa yang terkandung di dalamnya dan mempunyai
kedudukan sebagai ilmu pokok dalam menafsirkan Al-Qur’an.
b.
Fungsi ‘‘ulumul Qur’an sebagai Standar atau Ukuran Tafsir Apabila
dilihat dari segi ilmu, ‘‘ulumul Qur’an sebagai standar atau ukuran tafsir
Al-Qur’an artinya semakin tinggi dan mendalam ‘‘ulumul Qur’an dikuasai oleh
seseorang mufassir maka tafsir yang diberikan akan semakin mendekati kebenaran,
maka dengan ‘‘ulumul Qur’an akan dapat dibedakan tafsir yang shahih dan tafsir
yang tidak shahih. Ada beberapa syarat dari ahli tafsir (mufassir) yaitu:
1)
Akidahnya bersih.
2)
Tidak mengikuti hawa nafsu.
3)
Mufassir mengerti Ushul at-Tafsir.
4)
Pandai dalam ilmu riwayah dan dirayah hadits.
5)
Mufassir mengetahui dasar-dasar agama.
6)
Mufassir mengerti ushul fiqh.
7)
Mufassir menguasai bahasa Arab.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa ‘‘ulumul
Qur’an sangat penting dipelajari dalam rangka sebagai pijakan dasar dalam
menafsirkan Al-Qur’an oleh para mufassir. Dapat dikatakan semakin dikuasainya ‘‘ulumul
Qur’an oleh mufassir maka semakin tinggilah kualitas ijtihad tafsirnya.
D.
Sejarah Perkembangan
Sebagai generasi yang menerima Al-Qur’an lebih dulu tentulah
Rasulullah dan para sahabatnya lebih mengetahui seluk beluk Al-Qur’an, tafsiran
Al-Qur’an, dan ilmu-ilmu untuk memahammi Al-Qur’an. Tetapi pada saat itu
membukukannya bukanlah suatu hal yang urgen karena nabi masih hidup, sehingga
tidak ada dorongan untuk menyusunnya dalam sebuah disiplin ilmu yang
terkodifikasi dan tersusun dengan rapi seperti masa sekarang. Karena ulama yang
hidup setelah mereka memliki inisiatif untuk menyusun ilmu-ilmu Al-Qur’an untuk
melestarikan dan merapikan ilmu itu supaya tidak ada kepunahan ilmu.[11]
Para sahabat sangat antusias dalam menerima Al-Qur’an dari nabi
SAW. Setiap nabi Muhammad menyampaikan suatu ayat dari Al-Qur’an, mereka
mempelajari dan menghafalnya, bahkan menurut mereka hal itu adalah sebuah
kehormatan. Walaupun ‘ulumul qur’an pada saat itu belum dirumuskan
tetapi aktifitas mereka dalam mempelajari dan menulisnya[12]
merupakan sebuah cikal bakal tersusunnya ilmu ‘ulumul qur’an.
Sebelum membahas pekembangan tafsir dan ilmu tafsir, seyogyanya
dibahas terlebih dahulu latar belakang dan seluk beluk dikumpulkannya al-Qur’an
dari yang mulanya lebih marak dihafal dalam hati (al hifdzu fi as Sudur)
hingga sekarang dijaga dengan baris-baris mushaf (al Hifdzu fi as Sutur).
Pengumpulan Qur’an terbagi menjadi tiga periode, pada masa
Rasulullah, pada masa khalifah Abu Bakar ash Shidiq dan masa kekhalifahan
Utsman bin ‘Affan. Setiap periode memiliki ciri khas tersendiri dalam
pengumplannya. Pada zaman nabi Muhammad SAW, cara memelihara al-Qur’an adalah
dengan menghafalnya karena sejarah mencatat bahwa Nabi Muhammad adalah seorang
yang ‘ummiy yang tidakbisa membaca ataupun menulis. Setelah suatu ayat
dalam al-qur’an disampaikan kepada para sahabat, lantas mereka berlomba-lomba
untuk menghafalnya sehingga sangat banyak sahabat yang hafal Al-Qur’an. Hal ini
didasari karena (1) mereka telah terbiasa menghafal, yaitu menghafal sya’ir dan
menghafal nasab, (2) mereka sangat mencintai Al-Qur’an, (3) fasilitas tulis
menulis sangatlah terbatas.
Al-Qur’an
dikumpulkan dalam satu mushaf pada masa kekhalifahan Abu Bakar ash Shidiq atas
inisiatif Umar yang disetujui oleh Abu Bakar dengan diskusi yang alot. Semula
Abu Bakar menolak usulan umar ini karena takut melakukan suatu bid’ah, lalu Umarpun
berhasil meyakinkannya sehingga keputusan untuk membukukan al Qur’an pun ia tetapkan.
Hal ini disebabkan banyaknya para penghafal Al-Qur’an yang syahid ketika perang
yamamah, dikisahkan saat itu para quraa’ yang syahid ada sekitar 70
sahabat. dan tidak ada cara yang ampuh untuk menjaganya selain membukukan
Al-Qur’an. Melihat siapa sahabat yang paling pantas mengemban tugas ini, maka
Abu Bakar pun menunjuk Zaid bin Tsabit untuk mengerjakannya.
Sedangkan pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan diadakan suatu
program penyatuan Al-Qur’an dengan cara menulis kembali al-Qur’an dengan
membentuk satu tim yang terdiri dari 4 orang. Zaid bin Tsabit sebagai ketuanya dan
Abdullah ibn Zubair, Sa’id ibn ‘Ash, dan Abdurrahman ibn al-Harits ibn Hisyam
sebagai anggota. Perintah utsman yaitu menulis kembali suatu mushaf yang
didalamnya bisa menampung perbedaan yang ada.[13]
Ketika ada perbedaan bacaan, Abu Bakar mengintruksikan mereka untuk
menulisnya sesuai dengat logat quraisy karena Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi
Muhammad yang bersuku Quraisy. Setelah mushaf yang baru selesai, Utsman meminta
untuk membakar mushaf Abu Bakar dan menggunakan mushaf yang standar supaya
tidak ada perbedaan dikalangan umat Islam. Lalu setelah program ini selesai
Utsman mengembalikan mushaf Abu Bakar kepada Hafshah. Maka dengan pembukuan ini
lahirlah salah satu cabang ‘ulumul qur’an, yaitu ilmu rasmil Qur’an yang mencakup penulisan
dan penyusunan ayat dan surat dalam Al-Qur’an.
Penafsiran Al-Qur’an sudah dimulai sejak masa Nabi Muhammad dengan
beliau yang menjadi subyek penafsir. Setiap turun ayat Al-Qur’an beliau
menafsirkannya kepada para sahabat, dan ketika para sahabat tidak mengetahui
tafsiran suatu ayat, mereka lantas menanyakannya kepada Nabi Muhammad.
Sebagaimana sebuah atsar yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu
Mas’ud ketika surat al-An’am ayat 86 turun, “orang-orang yang beriman dan
tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kedhaliman”. Lantas banyak
sahabat yang merasa resah dan gelisah kemudian menanyakannya kepada Nabi
Muhammad SAW: wahai Rasulullah, siapakah dari kami yang tidak mendhalimi diri
sendiri? Lalu Nabi pun menjawab : tidakkah kalian mendengar apa yang dikatakan
oleh seorang hamba Allah yang shaleh “sesungguhnya kemusyrikan adalah
benar-benar kedhaliman yang besar (Luqman:13). Jadi yang dimaksud
kedhaliman dalam ayat ini adalah syirik[14].
Setelah Nabi Muhammad wafat penafsiran Al-Qur’an diteruskan oleh
para sahabat. ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Abdullah bin Abbas, ‘Abdullah bin Mas’ud,
dan Ubay bin Ka’ab. Demikian selain ilmu rasmil Qur’an, ilmu tafsir
Qur’an pun telah digeluti. Dalam penafsirannya tentulah mereka menyertakan nasikh
atau mansukh, asbaabun nuzul, dan gharaibul Qur’an, dan yang
lainnya meskipun saat itu belum dirumuskan yang mana kelak semua itu termasuk
cabang dari ilmu ‘ulumul Qur’an itu sendiri.
E.
Perkembangan Ilmu Tafsir
Pada masa sahabat dan tabi’in, penafsiran Al-Qur’an belum tersusun
secara sistematis dan masih berbentuk riwayat-riwayat hadits nabi SAW, bahkan
penafsirannya belum mencapai seluruh ayat dalam Al-Qur’an. Pembahasan tafsir
hanya sekedar memahami ma’na lafal dan belum ada pembahasan mendalam terkait
dengan lafal yang ditafsirkan. Akan tetapi perkembangan tafsir pada zaman
setelahnya mengalami kemajuan dengan mulai dipisahkannya hadits-hadits yang
menafsirkan Al-Qur’an menjadi kitab tafsir dengan penyusunan kitab yang
tersendiri.
Adapun ulama yang memulai penyusunan kitab tafsir adalah Ibnu
Majah, Ibnu Jarir ath Thabari (Jami’ al Bayan fi Tafsiril Qur’an), Abu
Bakar Ibnul Mundzir an Naisaburi (Tafsirul-Qur’an), Abu al-Laits Nashir
ibn Muhammad as Samarqandi (Bahr al Ulum), Abu Ishaq ibn Ibrahim ats
Tsa’labi (al Kasyaf wal Bayan ‘an Tafsir), dan lain-lain. Mereka
mengumpulkan riwayat-riwayat yang mentafsirkan Qur’an[15]
dalam kitab yang tersendiri lalu Riwayat yang mereka kumpulkan sudah mencakup
keseluruhan ayat Al-Qur’an dan disusun sesuai dengan sistematika mushaf. Model
penafsiran yang dicetuskan oleh ulama pendahulu ini yang disebut tafsir bi al
ma’tsur.[16]
Sementara itu, disamping sebagian para ulama menulis tafsir,
sebagian yang lain menulis beragam tema yang berkaitan dengan ilmu-ilmu Al-Qur’an.
Dalam perkembangan awal mula ilmu tafsir, para ulama hanya membahas secara
parsial-parsial dengan tema yang bermacam-macam seperti nasikh mansukh,
gharibul-qur’an, asbabun nuzul, munasabah dan lain-lain. Tetapi
perkembangan selanjutnya dari hal yang terpisah ini disatukan menjadi ilmu
universal yang membahas ilmu tafsir secara menyeluruh dan mencakup aspek-aspek
parsianya.
Pada abad ke 3 beberapa ulama
seperti Ali ibn al-Madini menulis tentang (Asbab an Nuzul), Abu
Ubaidah al-Qasim tentang (Nasikh Mansukh). Lalu pada abad ke 4 muncul ulama
seperti Abu Bakar as Sijistani menulis tentang Gharib Al-Qur’an, Abu
Bakar Muhammad ibn al-Qasim al-Anbari tentang Sab’atu Ahruf, dan ulama
yang terkenal dengan al-Jaufi (‘Ali ibn Ibrahim ibn Sa’ad) menulis kitab al-Burhan
fi ‘Ulum al Qur’an, terdiri dari 30 jilid tetapi yang lestari sampai
sekarang hanya 15 jilid saja. Maka kitab inilah yang pertama kalinya membahas
ilmu tafsir secara khusus.
Pada abad ke 5 muncullah ulama seperti ‘Ali ibn Ibrahim ibn Said
al-Hufi yang menulis tentang I’rab al Qur’an, Abu Amr ad Dani menulis
tentang Qira’at al-Qur’an. Pada abad ke 6 muncul Abu Qasim ibn Abdir
Rahman as Subaili menulis tentang Mubhamaat Al-Qur’an, Ibnul Jauzi
menulis tentang ‘Ajaib al-Qur’an. Pada abad ke 7 penulisan ilmu-ilmu
Al-Qur’an semakin pesat perkembang, pada masa ini muncullah Alamudin as Sakhawi
menulis tentang Ilmu Qiraat, Ibnu Abdis Salam menulis tentang Ilmu
Majazil Qur’an dan beberapa ulama lain yang tidakbisa disebutkan secara
kompleks.
Abad ke 8, disusunlah kitab yang membahas ‘ulumul qur’an secara
kompleks dalam pembahasan yang menyeluruh setelah beberapa abad hanya ada kitab
yang membahas ‘ulumul qur’an secara parsial. Yaitu kitab al Burhan fi
Ulum al Qur’an. Kitab ini ditulis
oleh Al Imam Badr ad Dien Muhammad bin Abdillah az Zarkasyi yang membahas 47
tema ‘ulumul qur’an mulai dari asbabun nuzul, munaasabatul ayat, makki dan
madani, qiraat dan lain-lain sampai dengan adawaat.
Pada abad ke 9 muncul al Hafidz Jalaluddin Abdurrahman as Suyuti
yang menyelesaikan tulisannya (at Tahrib fi Ulum al-Qur’an) pada tahun
872 H. didalamnya dibahas 102 masalah mengenai ‘ulumul qur’an, akan tetapi
pembahasan ini dinilai kurang kompleks sehingga ia menulis kebali suatu karya
yang membahas ‘ulumul qur’an lebih dalam dan sistematis dengan 80 tema
pembahasan, dan disusun dalam empat jilid. Yaitu kitab al –Itqan fi Ulum
al-Qur’an. Kitab ini dinilai oleh para ulama sebagai puncak karya yang
membahas ‘ulumul qur’an. Dengan meninggalnya as Suyuti sepertinya terputus pula
perkembangan ‘ulumul qur’an selama beberapa abad mendatang.[17]
Barulah abad ke 14 sampai sekarang, pembahasan ‘ulumul qur’an mulai
merebak lagi dengan bukti adanya beberapa ulama yang terdorong untuk menulis
karya yang membahas ‘ulumul qur’an. Beberapa diantaranya ialah:
Ø Syeikh Thahir
al-Jaza’iri menyusun kitab at Tibyan fi ‘Ulum al –Qur’an yang
diselesaikan pada tahun1335.
Ø
Jamaluddin al-Qasimi menyusun Mahasin at Ta’wil.
Ø
Muhammad Abdul ‘adzim az Zarqani menyusun menyusun kitab Manahil
al ‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an (jilid 2).
Ø
Sayyid Quthb menyusun kitab at Tashwir al Fanni fi al-Qur’an.
Pembahasan-pembahasan tersebut lalu dikenal dengan ‘ulumul qur’an.
Dan nama inilah yang menjadi sebutan khusus untuk ilmu-ilmu yang telah dibahas
dengan berbagai nama dan pembahasan tersebut.
F.
Wacana Rekontruksi Ilmu Tafsir
Memasuki era modern ada sekelompok intelek menganggap ilmu tafsir
yang dahulu digunakan para ulama klasik dalam menafsirkan Al-Qur’an harus
direkontruksi ulang. Karena metode tafsir klasik telah dianggap usang dan tidak
relevan terhadap zaman modern ini. Lalu minoritas orang ini mencari jalan,
memutar otak, yang akhirnya menemukan jalan keluar dari masalah ini dengan
menggunakan hermeneutika yang merupakan metode tafsir bible sebagai alat tafsir
untuk Al-Qur’an.
Penggunaan hermeneutika sebagai muka baru metode tafsir telah
menjadi sosok monster yang siap mengahancurkan keabsolutan Islam. Pemahaman
falsafah hermeneutika ini telah menjadi buldoser peling efektif yang berada
dibalik usaha sekulerisasi dan liberalisasi Islam dengan cara yang masif.[18]
Penerapan hermeneutika digunakan para agen liberal untuk mengkooptasi dan
menggusur nilai-nilai Islam yang tsawabit supaya sesuai dengan worldview
barat yang sekuler untuk diaplikasikan dalam kehidupan umat Islam.
Dalam perkembangannya hermeneutika telah menyilaukan, membius dan
menyulap para cendekiawan muslim lingkup internasional maupun regional. Baik
para mahasiswa bahkan dosen di universitas-universitas negeri maupun swasta.
Maka alangkah baiknya disini dibahas mengenai salah satu khutwah setan
ini untuk membentengi diri dari penyesatan opini yang telah menidurkan banyak
kawula muda akan bahaya sekulerisasi yang merupakan akibat dari penggunaan
hermeneutika.
Pengertian etimologi hermeneutika diadopsi dari bahasa yunani, “Hermeneuin”,
yang berarti tafsir, penjelasan serta penerjemahan.[19]
Tetapi ada juga yang berpendapat kata hermeneutika berasal dari bahasa inggris,
“hermeneutics” kata yang sebelumnya dipinjam dari bahasa Yunani kuno,”
Hermeneuticos”.[20]
Maka definisi hermeneutika secara terminologi diartikan dengan
penafsiran teks secara umum dengan mengutamakan aspek rasio untuk
mentransmisikan maksudnya dan disesuaikan dengan kondisi kontemporer agar
sampai pada pemahaman maksud teks.
Kata hermeneutik, sering diidentikan dengan dewa Hermes dalam
mitologi Yunani sebagai sosok dewa yang mempunyai tugas menafsirkan kalam Tuhan.
Oleh karenanya hermeneutika dianggap sebagai media penafsiran kalam dewa yang
masih samar dalam satu sisi, dan sebagai penafsir teks-teks mitologi dalam
pengertian lain. [21]
Jika dipindahkan ke dalam ranah teologi, maka diketahui bahwa wahyu
merupakan kalam Tuhan, dan bahasa ketuhanan yang tidak jelas sangat membutuhkan
penjelasan tentang kehendak Tuhan agar sampai pada pemahaman maksud wahyu itu.
Menurut Muhammad Arkoun, hermeneutika adalah metode interpretasi epistemologis
terhadap wahyu Allah dan Al-Qur’an. Tetapi menurutnya wahyu disini tidak terbatas.
Ia pun mencoba menggunakan pendekatan linguistik untuk membenarkan pendapatnya
ini. Logika Arkoun yang tercemar pemikiran Paul Ricouer lalu memilah beberapa
tahap. Menurutnya, Al-Qur’an yang merupakan kalamullah sebagai logos (pengetahuan)
tidak terbatas. Namun ketika kalam itu ditransmisikan kepada utusanNya untuk
disampaikan kepada umatnya, itu hanyalah penggalan dari kalamullah yang tidak
terbatas.
Dari sini muncullah pemilahan wahyu verbal dan non verbal.[22]
Dengan demikian Arkoun berkesimpulan wacana qur’an telah direduksi dari
semulanya sebagai Prophetic Discours menjadi Corpus Officiel Clos karena
factor sosial dan alasan politik, bukan karena kehendak Tuhan. Setelah menjadi Corpus
Officiel Clos, yang kini dibukukan dalam Mushaf Utsmani. Menurutnya, umat Islam
saat ini cenderung menggunakan Corpus Officiel Clos daripada wacana
qur’an yang pertama (yang disampaikan Allah kepada nabi Muhammad).
Dengan episteme ini, keabsahan Al-Qur’an sebagai sumber
otoritatif digugat. Melalui pendekatan sosio-historis ia berpendapat
bahwa Al-Qur’an merupakan subject to historicity, karenanya harus
didekonstruksi sebagaimana pendapat Jacques Derrida. hal senada juga diucapkan
oleh Fazlur Rahman yang mengklaim Al-Qur’an adalah both the word of God and
the word of Muhammad, dan oleh Nashr Hamid Abu Zaid dikatakan Al-Qur’an
hanyalah sebatas Muntaj Tsaqafi.[23]
Dampak dalam penggunaan hermeneutik sangatlah berbahaya, dimana
penafsir akan merasa ragu terhadap kebenaran Islam yang absuolut. Kerap kali
mereka menggunakan jargon-jargon populer seperti “agama adalah mutlak,
pemikiran agama adalah relatif”, “akal manusia relatif, hasil berpikirnya pun
relatif” dan lain-lain. Sekilas jargon ini logis, tetapi efeknya akan
merelatifkan semua pemikiran manusia walaupun bersumber dari wahyu.[24]
Berikut contoh akademisi muslim yang beranggapan kebenaran bersifat
relatif.
Statemen dari Muhammad Amin Abdullah:
“Dengan sangat intensif hermeneutika berusaha membongkar kenyataan
bahwa siapapun orangnya, kelompok apapun namanya, kalau masih pada level
manusia, pastilah terbatas, parsial-kontekstual pemahamannya, serta bisa saja
keliru. Hal ini tentu berseberangan dengan keinginan egois hampir semua orang
untuk selalu benar”.[25]
Dr. Ali Harb dalam komentar terhadap bukunya mengatakan:
“Tidak ada satupun school of tought yang berhak mengklaim
dirinya sebagai satu-satunya kebenaran dan menafikan kebenaran lainnya”.[26]
Abdul Mustaqim dalam bukunya mengeluarkan pernyataan:
“Dengan kata lain, pikiran mufassir yang bersifat relatif
tidak akan mampu meng-cover seluruh pemikiran Tuhan yang bersifat
mutlak. Karenanya, menganggap kemutlakan sebuah penafsiran dapat dikatakan dosa
(syirik intelektual)”.[27]
Jika saja pendekatan yang digunakan oleh Amin Abdullah tersebut
diterima, maka jelas akan membongkar ilmu-ilmu agama. Dalam bidang tafsir
misalnya, hasil penafsiran dituangkan oleh mufassir dengan akalnya, apabila
menurutnya kebenaran akal itu relatif, maka jelaslah tafsiran para mufassir
terdahulu akan dianggap relatif, tidak qath’I, dan tidak pasti kebenarannya
karena semua bersifat dzanniy (relatif).[28]
Dalam kajian ushul fiqh tentu para ulama ushul merumuskan qaidah
fiqhiyyah menggunakan rasio sehat mereka. Tetapi apabila dikatakan pikiran
manusia itu relatif kebenarannya, maka qaidah ushul maupun qaidah
fiqh semua tertolak dan tidakbisa direalisasikan dalam kehidupan modern.
Karena menilik aspek kontekstual mereka merumuskannya ketika zaman klasik,
ditanah Arab. Hasilnya adalah kaidah-kaidah yang ada tidak relevan jika
diaplikasikan di Indonesia ketika zaman telah berubah.
Sangat menarik pula untuk mengkaji pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid
yang terkenal dengan ucapannya “Al-Qur’an sebagai produk budaya” (muntaj
tsaqafi) untuk memperjelas dampak pengaplikasian konsep hermeneutika dalam
menafsirkan Al-Qur’an. Kajian yang ia lakukan sebenarnya hanya membajak tradisi
Kristen dalam menafsirkan kitab suci mereka. Yaitu dengan menggunakan kajian
kritis bible, dalam kajian kritis terhadap bible, para orientalis sebenarnya
masih meragukan keotentikan Al-Qur’an sehingga teks yang ada harus
direkontruksi ulang.
Hal ini bertolak belakang dengan tradisi umat Islam dalam menelaah
Al-Qur’an. Dimana para mufassirin tidak pernah menanyakan keotentikan
Al-Qur’an dan meyakini bahwa Al-Qur’an sebagai lafzhan wa ma’nan dari Allah.
Karena Al-Qur’an telah tercatat dengan baik sejak masa nabi. Bahkan pada masa
itu para sahabat dilarang untuk menulis (apa yang ia ucapkan) selain Al-Qur’an
karena dikhawatirkan akan tercampur satu dengan yang lain.[29]
Nampaknya para pemuka cendekiawan Kristen menjadi resah, mengapa
telaah kritis terhadap bible sangat pesat, tetapi tidak berlaku untuk menelaah
Al-Qur’an. Lalu muncullah dorongan kuat dikalangan orientalis-misionaris untuk
menempatkan posisi Al-Qur’an sama dengan posisi bible. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Iraq dan guru besar
Universitas Birmingham Inggris:
“Sudah saatnya melakukan telaah kritis terhadap teks Al-Qur’an
sebagaimana telah kita lakukan kepada kitabsuci ahudi yang berbahasa Ibrani,
dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani.”[30]
Sehingga usaha merekapun berakhir manis, dengan terpengaruhnya
beberapa intelektual muslim yang menggunakan metodologi penafsiran bible untuk
diaplikasikan terhadap Al-Qur’an. Diantaranya adalah Nasr Hamid Abu Zaid,
Muhammed Arkoun, dan lain-lain. Berikut pemaparan singkat tentang pemikiran
Nasr Hamid Abu Zaid:
Fokus bahasan yang dilakukan olehnya berkutat seputar teks, ia
mengatakan peradaban Islam adalah peradaban teks.[31]
Dalam bahasa lain, ia menganggap Al-Qur’an sebagai teks linguistik dan produk
budaya yang bertolak belakang dari dan oleh batasan realita adalah titik tolak
pemberangkatan Nasr Hamid dalam melontarkan historisitas penakwilan arti dan hukum-hukum
dalam Al-Qur’an.[32]
Makanya hasil tafsiran yang diintisarikan dari Al-Qur’an harus sesuai dengan
realita suatu masa.
Metode kritik sastra yang ia terapkan merupakan bagian dari metode
hermeneutika yang ia ketahui semenjak ia berada di Universitas Pensylvania,
Piladelphia pada kurun tahun 1978-1980.[33]
Menurutnya teks Illahi telah berubah menjadi teks manusiawi karena bahasa Tuhan tidak bisa difahami
dengan bahasa manusia, sehingga naskah yang awalnya berbentuk naskah ilahi
berubah menjadi naskah manusiawi.
Dalam kajiannya
terhadap Al-Qur’an ia banyak mengambil teori-teori dari mu’tazilah dan metode
hermeneutika. Sebagai seorang hermenet, maka ia mulai mengkaji teks tentang
corak dan makna yang terkandung didalamnya. Dengan hasil deduksi tentang teks
maka akan diketahui kondisi pengarang teks tersebut. Apabila metode ini
diaplikasikan atas bible, maka tidak menjadi suatu problem. Tetapi jika
Al-Qur’an menjadi objeknya, apa yang akan terjadi, sedangka dalam Al-Qur’an
tidak ada istilah pengarang Al-Qur’an.
Berangkat dari
sini ia tampil cerdas dengan mendistorsi sejarah, mengatas namakan Nabi
Muhammad sebagai pengarang Al-Qur’an. Dalam buku yang ia tulis “Mafhum
al-Nash” ia mengatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada Muhammad yang
merupakan manusia. Ia sebagai penerima dan penyampai adalah sebagai realitas
dan bagian dalam masyarakat. Ia adalah buah dan produk dari komunitas
masyarakat saat itu. Dengan demikian kata Nasr Hamid, membahas penerima pertama
berarti tidak menganggapnya sebagai penerima pasif. Membicarakannya berarti
membicarakan seorang manusia yang dalam dirinya terdapat harapan-harapan dari
komunitas yang bersangkutan. Intinya, Muhammad adalah sebagai bagian dari
social-budaya, dan sejarah masyarakat.
Dengan definisi
seperti ini, berarti ia telah memposisikan nabi Muhammad sebagai pengaang
wahyu. Artinya, biarpun risalah itu dari Tuhan, tetapi redaksi lafazh berasal
dari nabi Muhammad. Konsep Nashr Hamid yang menyatakan “Al-Qur’a sebagai spirit
wahyu dari Tuhan” sama persis dengan konsep bible, bahwa “The Whole Bible is
given by inspiration of god”. Pemahaman seperti ini akan berimbas pada
persepsi orang terhadap Islam dengan menyebut Islam sebagai “Agama Muhammad”,
dan hukum Islam disebut “Muhammedan Law” dan pengikut Islam disebut sebagai
“Muhammedan”.[34]
Memang posisi nabi
Muhammad adalah sebagai penyampai wahyu yang pasif, tetapi ia hanya berperan
dalam penyampaian wahyu kepada umatnya, beliau tidaklah menyampaikan Al-Qur’an
kecuali apa yang telah diwahyukan kepadanya. Hal ini terbukti karena beliau
adalah seorang yang ‘ummiy dalam tulisan, dan ma’shum dalam
perbuatannya. Al-Qur’an menyebutkan:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى(4)
“Dan
tidaklah dia (Muhammad) menyampaikan perkataan atas dasar hawa nafsu, kecuali
atas dasar wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (Q.S An-Najm 3-4)
Teks
Al-Qur’an memang diturunkan dengan bahasa Arab, dan beberapa berbicara masalah
budaya waktu itu. Tetapi apakah bisa Al-Qur’an dinilai sebagai kitab budaya?
Padahal sebenarnya Al-Qur’an turun dengan membawa budaya baru. Budaya yang
menentang budaya yang telah ada sebelumnya (jahliyah) dengan mengusung prinsip
dan pola peradaban baru. Istilah dalam Al-Qur’an meskipun datang dengan bahasa
Arab, tetapi membawa makna baru yang berbeda dengan pemahaman orang Arab waktu
itu.
Para pemikir
diatas telah mencoba merekontruksi bangunan ilmu tafsir yang telah kokoh sesuai
dengan rumusan para ulama klasik dengan menggunakan hermeneutik sebagai solusi.
Tetapi pada tataran realita sebenarnya mereka telah melakukan dekontruksi dan
pelucutan terhadap nilai-nilai Islam yang fundamental.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
kata
‘ulumul qur’an berasal dari 2 kata yaitu ulum dan Al-Qur’an, kata “ulum”
merupakan jamak dari kata “ilmu”. Yang
memiliki arti kefahaman. Dan Al-Qur’an yang dinisbatkan pada kitab suci umat Islam.
Sedangkan secara terminologi yang lebih menampung perbedaan adalah pendapat ‘Ali
ash-Shabuni :
“Pembahasan-pembahasan
yang berhubungandengan kitab Al-Qur’an yang mulia baik
dari segi turunnya, pengumpulannya, penyusunannya, pembukuannya, dan mengetahui
sebab turunnya, pengetahuan tentang makki dan madani, nasakh dan mansukh,
muhkam dan mutasyabih dan lain sebagainya dari pembahasan-pembahasan yang
banyak yang berhubungan dengan Al-Qur’an yang agung atau yang mempunyai
hubungan dengannya.”[35]
Ruang
lingkup dalam pembahasan ‘ulumul qur’an sangatlah banyak diantaranya nasakh dan
mansukh, asbabun nuzul, gharibul qur’an dan lain-lain. Para ulama ada yang
membahas 80 hal dan ada yang lebih. Bahasan dalam ‘ulumul qur’an ini melingkupi
semua bidang ilmu yang bertujuan memudahkan penafsir untuk menafsirkan ayat.
Sejarah
perkembangan ‘ulumul qur’an telah dimulai sejak zaman nabi. Tetapi pada masa
awal-awal Islam ini, ‘ulumul qur’an hanyalah berupa dasar-dasar teori saja.
Karena para sahabat belum sepenuhnya membutuhkan untuk dikodifikasi. Barulah
pada zaman-zaman setelahnya ‘ulumul qur’an telah dirumuskan dalam suatu
disiplin ilmu tersendiri.
Dalam
perkembangan zaman, para cendekiawan muslim dengan sangat kontroversi
menganggap metode penafsiran klasik sebagai metode yang jadul, tidakbisa
mengikuti perkembangan zaman yang kian modern. Maka dengan segala usaha, mereka
mencoba memperkosakan metode bible untuk diaplikasikan dalam menafsirkan
Al-Qur’an. Maka hasilnya adalah beberapa ayat mereka ta’wilkan sesuai rasio
manusia dengan dilandasi aspek kontekstual.
Secara
nalar sederhana, memang pendapat mereka sangat logis dan hasil pemikiran mereka
telah merasuk ke dalam cara berpikir para cendekiaawan muslim baik akademisi
maupun khalayak ramai. Maka yang terjadi adalah maraknya pemikiran-pemikiran
liberal yang berujung pada usaha sekulerisasi.
[1] Q.S
Al-Hijr : 9
[3] Mudzakir
AS, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 2013, hal. 17
[4] Manna Khalil al-Qaththan Mabahis
fi ‘Ulum Al-Qur’an, hal 15
[5] Yunahar
Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an, Yogyakarta: ITQAN Publishing, 2013 hal. 2
[6] Rosihan
Anwar, Ulum Al-Qur’an, Bandung: CV Pustaka Setia, 2013 hal. 13
[7] Muhammad
Ali ash-Shabuni, At-Tibyan fi ‘Ulumil Qur’an, Beirut: Daarul Kutub al-Islamiyah, hal. 8
[8] Mudzakir
AS, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Bogor: Pustaka Litera Antarnusa,2013, hal. 7
[10]
Muhammad Ali ash-Shabuni, At-Tibyan fi ‘Ulumil Qur’an, Beirut: Daarul Kutub al-Islamiyah, hal. 8
[11]
Lihat Yunahar Ilyas, kuliah ulumul qur’an, hlm. 5.
[12]
Beberapa sahabat menulis dengan inisiatif sendiri dan sebagian lain atas
perintah nabi Muhamad SAW. Sahabat yang dikenal penulis wahyu antara lain: Abu
Bakar ash Shidiq (w.13 H), Umar bin Khattab (w. 23 H), Utsman bin Affan (w. 35
H), Ali bin Abi Thalib (w. 40 H), Mu’awiyah bin Abi Sufyan (w. 60 H), Zaid bin
Tsabit (w. 45 H), Ubay bin Kaab (w.32 H), Khalid bin Walid (w. 23 H), dan
Tsabit bin Qais radhiyallahu’anhum. Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul
Qur’an (Yogyakarta: ITQAN PUNLISHING, 2013) hlm. 6.
[13]
Karena pada saat itu terjadi perbedaan bacaan qur’an yang menjadikan banyak
insiden antar umat Islam. Sebagian umat Islam mengklaim qiraatnya yang paling
benar dan menganggap yang lain salah.
[14]
Manna’ Khalil al-Qatan, Studi Ilmu-Ilmu qur’an (terjemah Mabahits fie
Ulumil Qur’an), Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2013.
[15]
Baik dari nabi Muhammad, sahabat, maupun tabi’in.
[16]
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an,
(Yogyakarta: ITQAN PUNLISHING, 2013)
hlm. 7 dengan mengutip kitab Husain adz Dzahabi, at-Tafsir wal
Mufassirun.
[17] Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: ITQAN PUNLISHING,
2013) hlm. 8 dengan mengutip kitab Az
Zarqani, Manahil al ‘Irfan fi Ulum Al-Qur’an.
[19] Ibid,
hlm. 51.
[20]
Hafizh Abdur Rahman, Ulumul Qur’an Praktis, Bogor: CV Idea Pustaka
Utama, 2004. Hlm. 217.
[21]
Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal, depok:
Perspektif, 2010, hal. 52.
[22]
Hafizh Abdur Rahman, Ulumul Qur’an Praktis, Bogor: CV Idea Pustaka
Utama, 2004. Hlm. 220-221.
[23] Ibid,
hlm. 221.
[24]
Adian Husaini, Hegemoni Kristen Barat Dalam Studi Islam Perguruan Tinggi, Depok:
Gema Insani, 2006, hal. 195.
[25] Ibid,
mengutip pengantar M.Amin Abdullah untuk buku Hermeneutika
Al-Qur’an:Tema-tema Kontroversial, karya Fahrudin Faiz, (Yogyakarta: elSAQ
Press, 2005).
[26]
Ali Harb, Relativisme Kebenaran, Yogyakarta: IRCISoD, 2006.
[27]
Abdul Mustaqim dalam pembukaan buku, Tafsir feminis Versus Tafsir Patriarki,
Yogyakarta: Sabda Persada Yogyakarta, 2003.
[28]
Adian Husaini, Hegemoni Kristen Barat Dalam Studi Islam Perguruan Tinggi, hlm.
196.
[29] Adian
Husaini, Wajah Peradaan Barat, Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi
Sekular-Liberal, Depok: Gema Insani, 2005, hal. 304-307.
[30] Ibid,
hal. 307.
[31] Ibid,
hal. 308.
[32] Fahmi
Salim, Kritik Terhadap Studi Al-Qur’an kaum liberal, hal. 298.
[33] Adnin
Armas, Metodologi Bibel Dalam Studi Al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani
Press, 2005, hal. 70.
[34] Adian
Husaini, Wajah Peradaan Barat, Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi
Sekular-Liberal, Depok: Gema Insani, 2005, hal. 309-310.
[35]
Muhammad Ali ash-Shabuni, At-Tibyan fi ‘Ulumil Qur’an, Beirut: Daarul Kutub al-Islamiyah, hal. 8
Disusun oleh : Abu Rizal Fakhrudin dan Arif Fakhruddin
Disusun oleh : Abu Rizal Fakhrudin dan Arif Fakhruddin
Posting Komentar