MAKALAH : HUKUM SHALAT JAMA’AH BAGI KAUM WANITA
Disusun oleh : Abu Rizal
Fakhrudn (A-Er)
Ibnu Hazmin
Pendahuluan
Islam adalah sebuah agama yang
diturunkan di jazirah arab pada abad ke 7, dan penyebar agama ini adalah Nabi
Muhammad SAW, islam merupakan salah satu agama samawi yang di turunkan oleh
Allah SWT kepada utusan-NYA melalui malaikat Jibril, dan islam merupakan agama
satu satunya yang diridhoi oleh Allah SWT sebagai mana Allah menyebutkan dalam
firmannya dalam surat Ali-Imron ayat 19
¨bÎ) úïÏe$!$# yYÏã «!$# ÞO»n=óM}$#
Artinya : Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah
hanyalah Islam.
Seperti halnya agama samawi yang lain
islam juga memiliki tuntunan hidup bagi pemeluknya yaitu kitab suci Al-Qura’an
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui pelantara malaikat Jibril yang
diturunkan dalam 2 tahap ayaitu, pertama
diturunkan secara sekaligus atau secara keseluruhan dari dari sidrotul muntaha’
ke baitul izzah pada tanggal 17 Ramadhan, dan yang kedua secara berangsur
angsur dari sidrotul muntaha’ kepada Nabi Muhammad SAW, ayat yang paling
pertama kali diturunkan kepada Rosululloh adalah surat Al-Alaq ayat 1-5.[1](lihat
kitab attibyan fi ulumil qur’an karya muh,asshobani).
Islam merupakan agama tauhid dan inti
ajaran nya pun adalah ketauhidan. Agama islam dibangun dari 5 unsur yaitu
syahadat, shalat, puasa, zakat dan ibadah haji, sebagai mana yang terdapat
dalam sabda Rosululloh.
Salah satu unsur terpenting dari agam islam adalah shalat,
umat islam sangatlah diwajibkan untuk selalu melaksanakan shalat dan apabila
meninggalkan maka akan mendapatkan dosa, dan shalat adalah unsur pertama yang akan
ditanyakan pada yaumul hisab nanti, saking pentingnya yang namanya shalat Rosul
bersabda dalam haditsnya bahwa shalat itu adalah tiangnya agama, layaknya
sebuah bangunan apabila pondasi tidak kuat maka bangunan itu pun tidak akan
kuat samakin lama akan semakin keropos begitu pun dengan pun islam pondasi
agama islam adalah shalat jika shalatnya seorang hamba itu lemah maka kualitas
agamanya pun lemah dan semakin lama akan menghilang, tapi yang menjadi permasalahan disini adalah
begitu banyaknya perbedaan ikhtilaf dalam masalah pelaksanaan shalat, dan
sangat pula kajinnya tentang masalah shalat, baik itu shalat wajib yang 5
waktu, shalat tathowu, ataupun shalat nafilah. Salah satunya kajian tentang aturan-aturan
fiqh yang berkaitan dengan perempuan ketika bersama- sama kaum lelaki. Misalnya
dalam masalah shalat berjama’ah di masjid bagi perempuan atau tidak wajibnya
perempuan shalat Jum’at.
Terdapat banyak hadis Nabi SAW
dengan kualitas shahih atau hasan yang memandang shalat perempuan lebih baik
dilakukan di rumahnya daripada shalat berjama’ah dengan kaum laki-laki di
masjid, antara lain :
“Seorang perempuan datang kepada Nabi SAW, lalu
berkaata : “Aku ingin shalat bersamamu.” Nabi menjawab : “Aku tahu kamu senang
bisa shalat bersamaku, tetapi shalatmu di rumahmu (bait) lebih baik dari
shalatmu di kamarmu, dan shalat di kamar lebih baik daripada shalat di rumahmu
(daar), dan shalatmu dirumahmu lebih banyak daripada shalat di masjidku” (Hadis riwayat
Ahmad, Ibnu Hizaimah, Ibnu Hibban. Al Haitsami mengatakan bahwa para perawi
hadis ini terpercaya (tsiqoh)
Shalat berjama’ah di masjid itu
hanya di wajibkan untuk laki-laki dengan perolehan pahala sebanyak 27 kali
lipat dibandingkan dengan shalat sendiri. Jadi, shalat bagi wanita Muslimah itu
lebih baik di kerjakan di rumah daripada di masjid. Hal ini didasarkan pada
sabda Rasulullah :
صَلَاةُ الْمَرْأَةِ فِي بَيتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهَا فِي المَسْجِد
“Shalatnya seorang wanita di rumahnya lebih baik
daripada shalatnya di masjid” (HR. Abu Dawud dan Al –Hakim)
Namun demikian, hendaknya wanita
Muslimah shalat berjamaah di masjid apabila tidak ada sesuatu yang
dikhawatirkannya (menimbulkan fitnah).
Imam Nawawi rahimahullah berkata:
“Hadits yang menjelaskan dengan jelas sekali bahwa wanita tidak dilarang pergi
ke masjid. Akan tetapi dengan syarat-syarat yang telah disebutkan oleh para
ulama yang diambil dari hadits-hadits untuk menjauhkan dari fitnah yaitu:
- Tidak memakai wangi-wangian,
- Tidak tabarruj, Tidak memakai gelang kaki yang dapat terdengar suaranya,
- Tidak memakai baju yang mewah,
- Tidak berikhtilat dengan kaum laki-laki dan bukan gadis yang dengannya dapat menimbulkan fitnah,
Akan tetapi, ada sebuah
pertanyaan lalu bagaimana dengan ketentuan shalat berjamaah khusuh bagi kaum
hawa? Dimana letak imamnya? Bagaimana aturan shafnya? Dan yang membahas dalam
kajian tersebut masih sedikit pembahasannya dan kaum hawa pun tidak mengetahui
bagaimana ketentuan shalat berjamaah bagi wanitu. Oleh karena itu, penulis
disini ingin sedikit membahas tentang bagaimana ketentuan shalat berjamaah bagi
wanita.
Pembahasan
A.
Shalat
berjamaah bagi wanita
Kaum wanita disunnahkan mengadakan
jamaah sendiri dengan imam yang paling aqra’ di antara mereka. Masalah ini
tidak ada khilaf di dalamnya. Setiap shalat Fardhu ataupun Nafilah yang
mana kaum laki-laki diperintahkan agar mengadakan jama’ah, maka bagi wanita
disyari’atkan pula.[2]
Seperti ini adalah pendapat Ibnu Mundzir dari A’isyah, Ummu Salamah, Hammah,
‘Atha’, ats-Tsauri, al-‘Auza’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan tiada seorangpun
dari sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam yang menyelisihiya.[3]
Jamaah kaum wanita di rumah adalah
lebih utama daripada kehadiran mereka di masjid bersama kaum laki-laki.
Hal ini selama tidak ada unsur larangannya dan bahaya di dalamnya. Karena
inilah jika ada sekelompok wanita yang tinggal di rumah, sekolah, universitas
ataupun rumah-rumah kontrakan maka disunnahkan bagi mereka untuk melaksanakan
jama’ah shalat.
Kebolehan wanita melaksanakan shalat
berjamaan juga berdasarkan keumuman hadits yang menceritakan keutamaan shalat
jama’ah. Dan asalnya, wanita memiliki hukum yang sama dengan laki-laki sampai
ada dalil yang membedakannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
إنما النساء شقائق الرجال
“Wanita adalah bagian dari pria.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Maksudnya
adalah shalat jama’ah bersama wanita tetap dibolehkan sebagaimana pria
berjama’ah dengan sesama pria.
Hal ini juga pernah dilakukan oleh
beberapa sahabat wanita seperti Ummu Salamah dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhuma.[4]
(Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik, 509)
Dari Roithoh Al Hanafiyah, dia mengatakan:
Dari Roithoh Al Hanafiyah, dia mengatakan:
أن عائشة أمتهن وقامت بينهن في صلاة مكتوبة
“’Aisyah dulu pernah mengimami para wanita dan beliau berdiri (sejajar)
dengan mereka ketika melaksanakan shalat wajib.” (HR. ‘Abdur Rozak, Ad
Daruquthniy, Al Hakim dan Al Baihaqi. An Nawawi mengatakan bahwa sanad hadits
ini shahih. Namun hadits ini dilemahkan/ didho’ifkan oleh Syaikh
Al Albani, namun dia memiliki penguat dari hadits Hujairoh.[5]
Begitu juga hal yang sama dilakukan oleh Ummu Salamah. Dari Hujairoh binti Husain, dia mengatakan:
Begitu juga hal yang sama dilakukan oleh Ummu Salamah. Dari Hujairoh binti Husain, dia mengatakan:
أمتنا أم سلمة في صلاة العصر قامت بيننا
“Ummu Salamah pernah mengimami kami (para wanita) ketika shalat Ashar
dan beliau berdiri di tengah-tengah kami.” (HR. Abdur Rozak, Ibnu Abi
Syaibah, Al Baihaqi. Riwayat ini memiliki penguat dari riwayat lainnya dari
jalur Qotadah dari Ummul Hasan)
Ummul Hasan juga pernah melihat Ummu
Salamah –istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengimami para wanita (dan
Ummu Salamah berdiri) di shaf mereka. (Atsar ini adalah atsar yang bisa
diamalkan sebagaimana kata Syaikh Al Albani.[6]
Ada pula ulama yang menganjurkan shalat jama’ah bagi wanita dengan sesama mereka berdasarkan hadits dalam riwayat Abu Daud dalam Bab “Wanita sebagai imam”,
Ada pula ulama yang menganjurkan shalat jama’ah bagi wanita dengan sesama mereka berdasarkan hadits dalam riwayat Abu Daud dalam Bab “Wanita sebagai imam”,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَزُورُهَا فِى بَيْتِهَا
وَجَعَلَ لَهَا مُؤَذِّنًا يُؤَذِّنُ لَهَا وَأَمَرَهَا أَنْ تَؤُمَّ أَهْلَ
دَارِهَا. قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ فَأَنَا رَأَيْتُ مُؤَذِّنَهَا شَيْخًا
كَبِيرًا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah mengunjungi Ummu Waroqoh di rumahnya. Dan beliau memerintahkan
seseorang untuk adzan. Lalu beliau memerintah Ummu Waroqoh untuk mengimami para
wanita di rumah tersebut.”
‘Abdurrahman (bin Khollad) mengatakan bahwa yang mengumandangkan adzan tersebut adalah seorang pria tua.” (HR. Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan) ia adalah wanita yang sudah hafal al-Qur’an.[7]
‘Abdurrahman (bin Khollad) mengatakan bahwa yang mengumandangkan adzan tersebut adalah seorang pria tua.” (HR. Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan) ia adalah wanita yang sudah hafal al-Qur’an.[7]
Dr. Shalih bin Ghanim as-Sadlan berkata,” Beberapa
hadits dan atsar di atas adalah saksi nyata atas bolehnya kaum wanita
mengadakan shalat jama’ah sendiri, ini adalah pendapat Abu Hanifah, Syafi’i,
Ahmad bin Hambal, Daud adz-Dzahiri dan para pengikutnya. Barangsiapa yang
menentang pendapat ini dengan pendapat lain, maka perkataannya tertolak. Tiada
dalil shahih yang menopangnya dan sangat bertolak belakang dengan sunnah
shahihah lagi muhkamah yang jelas membolehkan kaum wanita megadakan jama’ah
sendiri, apalagi telah jelas dalil umum yang menyatakan, bahwa Nabi Shallallahu
'alaihi Wasallam bersabda:
صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ
بِسَبْعٍ وَ عِشْرِيْنَ دَرَجَةً
Artinya,“ Shalat jama’ah lebih utama daripada shalat sendiri dengan 27
derajat.”[8]
Kiranya dalil ini cukup
sebagai bantahan bagi mereka. Bagaimana mungkin mereka menyelisihinya, padahal
hadits-hadits dan atsar yang shahih jalas-jelas telah mensyari’atkannya.[9]
Maka dari semua hadits dan pendapat yang ada kami berkesimpulan bahwa
disunnahkan wanita untuk melakukan shalat jama’ah sesama wanita karena kami
memandang sabda Rosul yang menyebutkan bahwa shalat berjama’ah itu lebih utama
dibandingkan dengan shalat sendirian dengan mendapat 27 derajat pahala, itu
umum berlaku untuk wanita dan laki-laki sebagaimana sabda Rosul juga yang telah
disebutkan diatas bahwa wanita itu bagian dari laki-laki.
B.
Posisi Imam
Wanita
Berbeda dengan laki laki apabila ia
menjadi imam maka ia berdiri didepan, Seorang wanita, apabila hendak menjadi
imam sesama kaum wanita maka baginya untuk berdiri di tengah-tengah shaff. Hal
ini sebagaimana yang telah dicontohkan oleh ummahatul mukminin.
berdasarkan pada hadis yang
diriwayatkan oleh Atha’ :
قَالَ عَطَاءُ : كَانَتْ عَائِشَةُ
تَؤُمُّ النِّسَاءَ. وَتَقُوْمُ مَعَهُنَّ فِى الصَّفِّ. وَكَذٰلِكَ رُوِيَ عَنِ
النَّخْفِيِّ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا كَانَتْ تَؤُمُّ النِّسَاءَ
فِى شَهْرِ رَمَضَانَ. فَتَقُوْمُ وَسَطًا. وَقَالَتْ حُجِيْرَةَ : أَمَّتَنَا
أُمُّ سَلَمَةَ زَوْجَةُ النَّبِيِّ فِى صَلاَةِ الْعَصْـرِ فَقَامَتْ بَيْنَنَا.
(يسئلونك في الدين والحياة، الجزء الأول
“Berkata Atha’ : Aisyah (istri Nabi) mengimami perempuan dan
dia berdiri bersama mereka dalam shaf. Dan demikian pula diriwayatkan dari
An-Nakhfy : Sesungguhnya Aisyah mengimami perempuan pada bulan Ramadhan, maka
dia berdiri di tengah-tengah. Dan berkata Hujirah : Kami diimami oleh Ummi
Salamah (istri Nabi) pada shalat Ashar, maka dia berdiri di antara kami”.
Dan hadits
yang diriwayatkan dari Ibnu Umar Radiyallahu 'anhuma, “dia menyuruh budak
perempuannya agar mengimami keluarganya yang wanita di beberapa malam bulan
Ramadhan” HR al-Baihaqi.
Dari
beberapa hadits tersebut dapat kita simpulkan bahwa posisi imam wanita adalah
ditengah sebagaimana hadits dari aisyah tadi. Imam Ibnu Ishaq Rahimahullah
berkata, ”Menurut sunnah, imam seorang wanita adalah di tengah. Hal ini adalah
sebagaiman yang dilakukan oleh ibunda ‘Aisyah dan Ummu Salamah Radiyallahu
'anhuma, bahwa keduanya mengimami dan berdiri di tengah.”[10]
Akan tetapi ada beberapa syarat ketika sesorang menjadi seorang imam,
sedikitnya ada 5 syarat :
1. Yang paling
mengetahui agama
2. Aqra’
3. Menjauhi
perbuatan syubhat
4. Yang lebih tua
umurnya
5. Berakhlak baik.
Hal ini disandarkan pada sabda Rosululloh SAW
إِنَّ الأَحَقَّ بِالإِمَامَةِ هُوَ أَعْلَمُ الْقَوْمَ
بِاْلأَحْكَامِ، ثُمَّ أَحْسَنُهُمْ قِرَاءَةِ لِكِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ،
ثُمَّ أَوْرَعَهُمْ أَيْ أَكْثَرُهُمْ اِجْتِنَابًا لِلشُّبُهَـات، ثُمَّ
أَكْبَرُهُمْ سَنًا، ثُمَّ أَحْسَنُهُمْ أَخْلاَقًا. . (يسئلونك في الدين والحياة، الجزء
الثانى، ٤٥)40.
“Sesungguhnya
yang paling berhak menjadi imam adalah orang yang paling mengetahui/ menegakkan
hukum agama, kemudian yang paling baik bacaannya terhadap kitab Allah, kemudian
yang paling menjauhi perbuatan syubhat, kemudian yang lebih tua umurnya,
kemudian orang yang paling baik akhlaknya”.[11]
Akan tetapi apabila seorang yang
memenuhi kelima syarat tersebut tidak ada maka pilihlah yang paling aqra’ diantara
wanita.
Akan tetapi, pada dewasa ini muncul
sebuah pertanyaan Bolehkah Seorang Wanita Menjadi Imam Bagi Laki-laki?
Abu Ishaq berkata,” Seorang laki-laki tidak diperbolehkan untuk shalat di
belakang seorang wanita. Hal ini sebagaiman yang pernah dikatakan oleh sahabat
Jabir Radhiyallahu 'Anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam berkhutbah
seraya bersabda:
لاَتُؤَمِّنُ الْمَرْأَةُ رَجُلاً
Artinya,” Janganlah seorang wanita itu mengimami laki-laki.”[12]
Seorang laki-laki jika shalat di balakang wanita dan tidak
mengetahui--kalau yang menjadi imam adalah wanita--maka dia harus mengulangi
shalatnya.[13]
Imam an-Nawawi Rahimahullah berkata,” Hadits dari
Jabir Radhiyallahu 'anhu yang diriwayatkan oleh imam Ibnu Majah dan al-Baihaqi
adalah lemah sanadnya. Sahabat kami telah sepakat, bahwa seorang
laki-laki--baik sudah baligh ataupun masih bayi--adalah tidak boleh untuk
shalat di belakang wanita. Larangan ini
adalah berlaku umum, baik shalat Fardhu, Tarawih maupun seluruh shalat Nafilah.
Ini adalah madzhab kami, jumhur ulama salaf ataupun khalaf. Demikian juga
Fuqaha yang tujuh, Fuqaha Madinah yaitu Tabi’in dan imam Malik, Abu hanifah,
Sufyan, Ahmad dan Daud.”
Imam Abu
Tsaur, al-Mazini dan Ibnu Jarir berkata,” Kaum laki-laki sah saja shalat di
belakang wanita.” Batallah
shalat seorang laki-laki, yang shalat di belakang wanita. Adapun shalat wanita
tersebut beserta kaum wanita yang di belakangnya adalah sah--dalam seluruh
shalat, selain shalat Jum’ah.[14]
Apabila seorang wanita menjadi imam untuk
wanita lain dalam shalat jahriyyah
maka dia mengeraskan bacaannya karena hal ini merupakan tata cara sholat jahriyyah, selagi di sana tidak
ada laki-laki asing yang bukan mahramnya. Ketika terdapat laki-laki bukan
mahram di sekitarnya maka dia tidak boleh mengeraskan bacaannya. Demikianlah
yang menjadi pendapat ulama madzhab syafi’i dan hambali. Adapun ulama madzhab
maliki mereka berpendapat bahwa imam wanita tidak mengeraskan bacaannya karena
dapat menimbulkan fitnah. Pendapat ini juga merupakan dzahir dari pendapat
ulama hanafiyyah. Namun berbeda dengan Muhammadiyah, Muhammadiyah memandang
boleh seorang wanita mengeraskan suara dalam shalat yang bersifat jahriyyah
meskipun disekitarnya terdapat lelaki, karena Muhammadiyah berpandangan bahwa
suara wanita bukanlah aurat karena hadits yang menerangkan bahwa suara wanita
itu adalah aurat itu bukanlah hadits shahih, sebagian berpendapat hadits ini
dhaif (lemah) dan sebagian yang lain bahkan mengatakannya sebagai hadits maudu` (palsu). Dan juga
berdasarkan hadits
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ
الْمُفَضَّلِ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ ذَكْوَان قَالَ: قَالَتِ الرُّبَيِّعُ
بِنْتُ مُعَّوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ: جَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَدَخَلَ حِينَ بُنِيَ عَليّ فَجَلسَ عَلَى فِراشِي كَمَجْلِسِكَ
مِنِّي، فَجَعَلَتْ جُوَيْرِيَاتٌ لَنَا يَضْرِبْنَ بالدُفِّ وَيَنْدُبْنَ مَنْ
قُتِلَ مِنْ آبَائِي يَوْمَ بَدْرٍ، إِذْ قَالَتْ إِحْدَاهُنَّ: وَفِينَا نَبِيٌّ
يَعْلَمُ مَا فِي غَدِ، فَقَالَ: دَعَي هَذِهِ وَقَوْلِي بِالَّذِيِ كُنْتِ
تَقُولِينَ. [رواه
البخارى]
Artinya: “Menceritakan pada kami Musaddad (dari) Bisyr bin Mufadhal
(dari) Khalid bin Dzakwan: Rubayyi’ binti Mu’awwidz bin Afra’ berkata: Nabi saw
datang (menghadiri pesta nikah) lalu duduk (di tempat yang sama ketika) aku
(dulu) menikah (sehingga) aku dan Nabi saling berhadapan. (Lalu) beberapa
wanita membawakan nyanyian disertai iringan tambor untuk mengenang keluarganya yang mati syahid
di Badar. Salah seorang wanita (penyanyi) tersebut mengatakan bahwa (di depan
mereka) ada Rasul yang mengetahui apa yang terjadi hari esok. Rasul bersabda:
Jauhi meramal dan teruslah bernyanyi.” [HR. al-Bukhari]
Dalam hadits itu menunjukan bahwa
seorang wanita dibolehkan untuk bernyanyi sepanjang tidak menunjukan auratnya
dan juga kita bisa mengambil dalil dengan ibbarotunnas bahwa suara
wanita itu bukanlah aurat.
Begitu pula dalam permasalahan adzan
bagi kaum wanita, apakah boleh wanita mengumandangkan adzan, mayoritas ulama dari madzhab hanafi,
maliki, syafi’i dan hambali berpendapat bahwa hal tersebut adalah perkara yang
tidak disyari’atkan. Karena adzan dikumandangkan untuk tujuan memanggil
orang-orang agar berjama’ah (yaitu para laki-laki). Sementara wanita tidak diwajibkan
shalat jamaah di masjid.
Akan tetapi dalam madzhab
syafi’iyyah, ada yang berpendapat dianjurkan adzan bagi wanita. Imam An Nawawi
berkata dalam kitab beliau: “Oleh karena itu maka kita katakan bahwa wanita
boleh adzan akan tetapi dia tidak boleh mengangkat suaranya di atas suara yang
dapat didengar oleh para wanita”.[16]
Hal ini disepakati oleh ulama syafi’i dan ditegaskan dalam kitab Al Umm. Jika mengangkat suara
lebih dari itu, maka hukumnya haram sebagaimana terlarangnya membuka wajah di
hadapan laki-laki asing. Karena sesungguhnya wanita dapat menimbulkan fitnah
bagi laki-laki melalui suaranya, sebagaimana dia menjadi fitnah dengan wajahnya.
Dari semua pendapat diatas penulis
disini lebih memilih bahwasanya mengumandangkan adzan bagi kaum wanita itu
tidak disyari’atkan dengan memandang agar untuk berhati-hati dikarenakan takut
akan terjadi sebuah fitnah.
D.
Dimana
Sebaiknya Kaum Wanita Shalat
Seorang wanita diperbolehkan untuk
menghadiri shalat jamaah bersama kaum laki-laki di masjid. Meskipun demikian,
rumah mereka tetap yang lebih baik bagi mereka untuk melaksanakan shalat.
Sebagaiman yang terdapat dalam hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam
berikut:
Ummu Salamah
meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam, beliau bersabda:
خَيْرُ مَسَاجِدِ النِّسَاءِ قَعْرُ بُيُوْتِهِنَّ
Artinya,“
Sebaik-baik masjid bagi kaum wanita adalah kamar dalam rumahnya”[17]
Imam Abu Daud
dan yang lainnya meriwayatkan hadits dari sahabat Abdullah bin Umar Radiyallahu
'anhuma, Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda:
صَلاَةُ الْمَرْأَةِ فِي بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِي حُجْرَتِهَا
وَ صَلاَتُهَا فِي مَخْدَعِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِي بَيْتِهَا
Artinya,”
Shalatnya seorang wanita di dalam kamarnya adalah lebih baik daripada
shalatanya di bagian dalam rumahnya adalah lebih baik daripada shalatnya di
dalam rumahnya.”[18]
Syaikh asy-Syanqithi berkata,” Ketahuilah, bahwa
shalatnya kaum wanita di rumahnya adalah lebih utama daripada shalat mereka di
masjid, meskipun itu masjid Nabawi. Adapun yang dimaksudkan sabda Nabi
Shallallahu 'alaihi Wasallam:
صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْمَا سِوَاهُ
إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ
Artinya,“
Shalat di masjidku ini adalah seribu kali lebih baik daripada shalat di
selainnya, kecuali di Masjidil Haram.” khusus bagi kaum laki-laki,
sementara bagi wanita maka shalat di rumah adalah lebih baik daripada shalat
berjamaah di masjid.”[19]
E.
Shaf makmum
yang paling baik
Shaff terdepan adalah shaff yang paling bagi kaum
laki-laki dan terjelek bagi kaum wanita. Sebaliknya, shaff terbelakang adalah
yang terjelek bagi kaum laki-laki dan terbaik bagi kaum wanita. Hal tersebut
adalah keumuman maksud dari hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam.
Namun bagaimanakah sebenarnya maksud dari hadits tersebut, apakah jika
jamaahnya kaum laki-laki bersama dengan kaum wanita berlaku hukumnya seperti
itu ?. Dan bagaiman jika jamaah tersebut hanya kaum wanita saja ?.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu
Hurairah Radiyallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi
Wasallam pernah bersabda:
خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوْفِ
النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
Artinya,” Sebaik-baik shaff kaum laki-laki adalah yang paling awal dan
sejelek-jeleknya adalah yang paling akhir. Sebaik-baik shaff kaum wanita adalah
yang paling akhir dan sejelek-jelaknya adalah yang paling awal.” HR Muslim.
Imam an-Nawawi Rahimahullah berkata,” Shaff bagi laki-laki yang terbaik--secara
umum-- adalah yang paling awal, selamanya. Sedangkan yang paling jelek adalah
yang paling akhir, selamanya. Adapun bagi wanita, maka maksud dari hadits
adalah shaff kaum wanita yang mengikuti shalatnya kaum laki-laki. Sementara
kalau mereka shalat sendiri (sesama kaum wanita), maka sebagaiman kaum
laki-laki, yaitu sebaik-baik shaff mereka adalah yang paling awal dan
sejelek-jeleknya adalah yang paling akhir. Ketahuilah, bahwa shaff awal yang
terpuji--sebagaimana tersebut dalam hadits--dan yang utama serta dianjurkan
untuk dijaga adalah shaff setelah imam. Sama halnya, baik orang tersebut datang
dahulu atau datang terakhir.”[20]
Dengan demikian, penulis disini
berkesimpulan jika wanita melakukan shalat jama’ah dengan kaum laki laki maka
shaff yang paling baik/utama adalah shaff yang paling belakang, akan tetapi
ketika wanita melakukan shalat jama’ah dengan sesama wanita maka sahaff yang
paling baik adalah yang paling depan sebagaimana laki laki, karena berdasarkan
sabda Rosululloh
إنما النساء شقائق الرجال
“Wanita
adalah bagian dari pria.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
KESIMPULAN
1. Kaum wanita disunnahkan mengadakan jamaah sendiri dengan imam yang paling
aqra’ di antara mereka
2. Seorang wanita yang menjadi imam, maka ia berdiri tengah-tengah shaff,
sebagaimana yang dicontohkan oleh Shahabiyah.
3. Seorang wanita yang menjadi imam, ia boleh mengeraskan suaranyadalam shalat
Jahriyah.
4.
Seorang wanita tidak diperkenankan
mengimami kaum laki-laki.
5.
Shaff kaum wanita paling depan
adalah yang paling jelek, sedang paling belakang adalah paling baik. Ini adalah
apabila mereka berjamaah bersama kaum laki-laki.
6.
Apabila mereka (kaum wanita),
berjamaah sesama kaum wanita, maka hukumnya adalah sebagaimana shaff laki-laki,
yaitu paling utama adalah shaff yang paling depan dan yang paling jelek adalah
shaff yang paling belakang.
Demikianlah sedikit
pembahasan mengenai “hukum shalat jamaah bagi kaum wanita” yang
dapat kami tulis dalam makalah ini. Semoga bisa menambahkan pengetahuan bagi
penulis terutama dan bagi semua pembaca umumnya. Atas segala masukan dan saran
pembaca, sangat penulis harapkan. Akhir dakwah kami, segala puji hanya milik
Allah Subhanahu wa Ta'ala dan shalawat serta salam atas Nabi-Nya Shallallahu
'alaihi wa Sallam.
[1] Syekh muh,asshobani, attibyan fi ulumil qur’an, darul
kitab islamiyah,hal 31-32
[3] Ibnu Hazm, Al-Muhalla: 3/171-172. Lihat Dr.
Shalih bin Ghanim as-Sadlan, Shalatul Jamaah, hal. 179.
[14] An-Nawawi, al-Majmu’ Syarah
al-Muhadzdzab: 4/223.
[15]Shalat dengan mengeraskan suara seperti shalat isya,
maghrid, dan shubuh
[16] Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab jil.3 hal.13
[17] HR Ahmad: 6/30
[18] Dr. Shalih bin Ghanim as-Sadlan, Shalatul
Jamaah, hal. 178
[19] Tafsir Adhwaul Bayan: 6/238.
[20] An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhin-Nawawi: 4/133-134.
Posting Komentar