Kontekstualisasi Hadits Tentang Larangan Makan dan Minaum Ketika Berdiri

Kajian Ma’anil Hadits
Hadits tentang larangan makan dan minum sambil berdiri
حَدَّثَنِي عَبْدُ الْجَبَّارِ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا مَرْوَانُ يَعْنِي الْفَزَارِيَّ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَمْزَةَ أَخْبَرَنِي أَبُو غَطَفَانَ الْمُرِّيُّ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَشْرَبَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ قَائِمًا فَمَنْ نَسِيَ فَلْيَسْتَقِئْ

Telah menceritakan kepadaku 'Abdul Jabbar bin Al 'Alaa`; Telah menceritakan kepada kami Marwan yaitu Al Fazari; Telah menceritakan kepada kami 'Umar bin Hamzah; Telah mengabarkan kepadaku Abu Ghathafan Al Murri bahwa dia mendengar Abu Hurairah berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah sekali-kali salah seorang diantara kalian  minum ketika berdiri, apabila dia lupa maka muntahkanlah." (HR.Muslim 3775).

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى حَدَّثَنَا سَعِيدٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى أَنْ يَشْرَبَ الرَّجُلُ قَائِمًا قَالَ قَتَادَةُ فَقُلْنَا فَالْأَكْلُ فَقَالَ ذَاكَ أَشَرُّ أَوْ أَخْبَثُ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna; Telah menceritakan kepada kami Abdul A'la; Telah menceritakan kepada kami Sa'id dari Qatadah dari Anas dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau melarang seseorang minum sambil berdiri. Qatadah berkata; 'Maka kami tanyakan, bagaimana dengan makan? ' Anas menjawab: 'Apalagi makan, itu lebih buruk, atau lebih jelek. (H.R Muslim 3772)

Hadis di atas juga terdapat pada Musnad Ahmad no. 7985. Jika dilihat secara dzahir hadits diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Rosululloh melarang untuk makan dan minum ketika berdiri, akan tetapi hal ini akan bertentangan riwayat yang lain karena ada riwayat yang menjelaskan bahwa Rosululloh saw pernah makan dan minum sambil berdiri seperti hadits yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا مِسْعَرٌ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ مَيْسَرَةَ عَنْ النَّزَّالِ قَالَ أَتَى عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى بَابِ الرَّحَبَةِ فَشَرِبَ قَائِمًا فَقَالَ إِنَّ نَاسًا يَكْرَهُ أَحَدُهُمْ أَنْ يَشْرَبَ وَهُوَ قَائِمٌ وَإِنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَ كَمَا رَأَيْتُمُونِي فَعَلْتُ

Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim telah menceritakan kepada kami Mis'ar dari Abdul Malik bin Maisarah dari An Nazal dia berkata; Ali radliallahu 'anhu pernah datang dan berdiri di depan pintu rahbah, lalu dia minum ketika berdiri setelah itu dia berkata; "Sesungguhnya orang-orang merasa benci bila salah seorang dari kalian minum ketika berdiri, padahal aku pernah melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melakukannya sebagaimana kalian melihatku saat ini." (HR. Bukhori 5184).

Hadis di atas juga terdapat pada kitab-kitab yang lain, diantaranya: Shahih Bukhori no. 5185, Sunan Abu Dawud 3230, Sunan an-Nasa’i no. 130  dan Musnad Ahmad no. 550.

Berdasarkan hadits-hadits di atas tentang makan dan minum ketika berdiri mengandung dua variasi konten matan yang berbeda, yaitu ada yang memperbolehkan dan ada yang melarangnya artinya dua hadits di atas nampak bertentangan dari sisi matannya.
Hadits dapat dikatakan shahih apabila ia tidak bertentangan dengan apa yang dijelaskan oleh al-Qur’an, karena al-Qur’an menduduki posisi pertama  yang dijadikan sumber rujukan dalam menganalisa sebuah hukum, sedangkan hadits hanya sebagai penjelas terhadap al-Qur’an. Di dalam al-Qur’an Allah swt menjelaskan bagaimana etika seseorang ketika makan dan minum yakni pada surat al-A’raf : 31:

وكُلُواْ وَاشْرَبُواْ وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Makan dan makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah melarang kepada hambanya makan dan minum secara berlebih-lebihan. Akan tetapi dalam ayat tersebut Allah tidak menjelaskan bagaimana keadaan seseorang ketika makan dan minum, apakah berdiri, duduk dan sebagainya. Hal ini menunjukan bahwa al Qur’an tidak menjelaskan tentang hukum makan dan minum sambil berdiri al Qur’an hanya berbicara tentang kadarnya saja, makan dan minum ketika berdiri hanya dijelaskan didalam hadits yang memiliki matan hadits yang berbeda. Oleh karena itu perlu dikaji secara mendalam.

Dalam kajian ilmu mushtalahul hadits ketika ditemukan dua hadits yang bertentangan secar matan, maka terdapat metode untuk menyelesaikan pertentangan tersebtu, pertama, al jam’u wa taufiq (mengkompromikan), kedua trajih, ketiga nasikh mansukh dan keempat tawaquf. Cara mengaplikasikan ketiga metode ini harus berjalan sesuai dengan hirarkinya artinya hal pertama yang harus dilakukan adalah al jam’u wa taufiq harus lebih didahulukan daripada tarjih, selanjutnya ketika dengan al jam’u wa taufiq ini tidak bisa maka digunakan metode yang kedua yaitu tarjih dan seterusnya.
Dalam kajian ini para ulama berbeda pendapat dalam al jam’u wa taufiq (mengkompromikan) hadits-hadits diatas, pertama, sebagian ulama berpendapat bahwa makan dan minum ketika berdiri hukumnya boleh (mubah). Kedua,sebagian ulama adaberpendapat bahwa hukumnya makruh (al Atsqalani, Al-Maktabah al-Syamilah, Juz 10 : 82), Ketiga, sebagian ulama berpendapat bahwa larangan makan dan minum ketika berdiri itu ditujukan kepada orang yang membawakan air ke teman-temanya, kemudian ia dengan cepat memakan dan minum air tersebut ketika berdiri, agar dapat memakan dan minum air tersebut sepuasnya, keempat, sebagian ulama berpendapat bahwa adanya hadis tentang bolehnya makan dan minum ketika berdiri menunjukkan bahwa makan dan minum ketika berdiri adalah boleh, sedangkan adanya larangan tentang makan dan minum ketika berdiri menunjukkan bahwa hal tersebut lebih disukai oleh Nabi (mustahab), dan hal tersebut lebih utama dan sempurna (al Atsqalani, Al-Maktabah al-Syamilah, Juz 10: 83).

Ø  Kajian Semantik/Linguistik

Dalam redaksi hadis tentang bolehnya makan dan minum ketika berdiri kata قام berkedudukan menjadi hal dengan menggunakan redaksi isim fa’il yaitu قأما. Dalam ilmu nahwu hal menunjukkan keterangan tentang kondisi seseorang, dengan demikian hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah memang pernah makan dan minum ketika berdiri.

Selanjutnya, Dalam redaksi hadits tentang larangan makan dan minum ketika berdiri menggunakan redaksi kata لَا يَشْرَبَنّ menggunakan bentuk fi’il nahyi (kata kerja yang menunjukkan larangan) dan disertai nun taukid tsaqilah yang menguatkan larangannya. Dalam ilmu balagah, kalimat yang menggunakan taukid (penguat) itu lebih kuat larangannya daripada kalimat yang tidak menggunakan taukid.

Para ulama ushul fiqh berbeda pendapat mengenai makna nahyu (larangan). Jumhur ulama berpendapat bahwa pada hakikat asalnya nahyu itu bermakna haram, akan tetapi jika terdapat qarinah atau dalil yang lain maka itu tidak menunjukan haram (Syarifudin, 2008: 221), sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa nahyi itu bermakna karahah (makruh), sebagianya lagi berpendapat bahwa nahyu itu bermakna musytarok (pengertian ganda). Dari sini dapat disimpulakan bahwa nahyu tidak selalu bermakna haram (al tahrim) tetapi juga dapat bermakna makruh tergantung indikasi-indikasi (qarinah-qarinah) yang menunjukkannya.

Ø  Kajian Historis

Dilihat dari perspektif etika atau adab. Bahwa ketika itu masyarakat Arab disimbolkan dengan kejahiliyahan, tidak mempunyai tata krama, dan wataknya yang keras. Diutusnya Nabi Muhammad saw disatu sisi adalah untuk mengubah komunitas mayarakat ini menjadi lebih berperadaban dan lebih berakhlak, Nabi saw pernah bersabda:

حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَجْلَانَ عَنْ الْقَعْقَاعِ بْنِ حَكِيمٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاق
Telah menceritakan kepada kami Sa'id bin Manshur berkata; telah menceritakan kepada kami Abdul 'Aziz bin Muhammad dari Muhammad bin 'Ajlan dari Al Qa'qa' bin Hakim dari Abu Shalih dari Abu Hurairah berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Hanyasanya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang baik." (H.R Ahmad 8595)

Aspek-aspek akhlak yang ditekankan oleh Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah kenabian begitu mendetail bahkan sampai ke persoalan yang terlihat kecil, seperti makan dan minum dan makan, agar anjuran-anjuran yang Nabi sampaikan adalah untuk memperbaiki tatanan norma dan akhlak.

Ø  Makan dan Minum Ketika Berdiri Dalam Tinjauan Medis

Dikutip dari website www. Fhm.co.id dalam konteks makan dan minum ketika berdiri dalam tinjauan medis terdapat beberapa perbedaan, ada yang berpendapat bahwa makan dan minum ketika berdiri dapat membahayakan kesehatan dan ada yang berpendapat bahwa makan dan minum ketika berdiri tidak membahayakan kesehatan.

Menurut yang mengatakan membahayakan berpendapat bahwa secara medis makan dan minum sambil duduk lebih menyehatkan ketimbang ketika berdiri. Sebab dalam tubuh manusia terdapat jaringan penyaring (filter) atau yang lazim disebut sfringer, yaitu suatu struktur maskuler (berotot) yang bisa membuka dan menutup.

Ketika filter dalam posisi tertutup, air yang dikonsumsi ketika berdiri langsung masuk hingga ke kantong kemih tanpa proses penyaringan. Akibatnya terjadi pengendapan di saluran ureter. Selain itu saat berdiri, manusia sebenarnya dalam keadaan tegang. Keseimbangan pusat saraf sedang bekerja keras agar mampu mempertahankan semua otot pada tubuhnya. Sebaliknya dalam posisi duduk, saraf dalam keadaan tenang dan tidak tegang (www. Fhm.co.id, diakses pada 16 april 2016)

Menurut pendapat yang mengatakan tidak membahayakan kesehatan (dr. Ponco Birowo, SpU, Ph.D, ahli urologi dari RS Cipto Mangun Kusumo) bahwa tidak ada hubungannya dengan sikap makan dan minum, mau sambil duduk atau berdiri air tetap butuh waktu berjam-jam untuk sampai ginjal. Menurutnya, penyaringan air makan dan minum tidak serta merta terjadi begitu saja di saluran menuju ginjal. Ketika masuk kerongkongan, minuman apapun terlebih dahulu akan ditampung lalu mengalami penyerapan di lambung yang prosesnya bisa memakan waktu berjam-jam.

Terkait anggapan bahwa ada semacam katup atau sphincter yang menjadi tidak aktif saat berdiri dibantah oleh dr. Ponco. Menurutnya, selama tidak ada gangguan kesehatan pada saluran kemih, sphincter akan tetap berfungsi baik dalam posisi duduk maupun berdiri. Menurutnya, fungsi sphincter adalah mengatur keluarnya air kencing, bukan untuk menyaring air makan dan minum yang masuk ke ginjal. Bayangkan saja kalau benar sphincter hanya aktif saat duduk, seharusnya kita jadi ngompol terus kalau berdiri (www. Fhm.co.id, diakses pada 16 april 2016).

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

Ø  Dengan redaksi matan قَائِمًا yang kedudukannya menjadi hal, dalam ilmu nahwu hal menunjukkan kondisi seseorang. Hal ini menujukan bahwa memang Nabi saw pernah makan dan minum ketika beridiri
Ø  Sebenarnya kedua hadis tersebut tidak bertentangan, adanya hadis yang memperbolehkan makan dan minum ketika berdiri menunjukkan bukti bahwa hukum dari makan dan minum ketika berdiri adalah boleh, namun hal tersebut hukumnya makruh, dalam artian tidak disukai oleh Nabi. Sebaliknya, menjauhi tidak makan dan minum ketika berdiri merupakan hal yang lebih disukai Nabi atau hukumnya nadb. Oleh karena itu, ketika orang melakukan makan dan minum ketika berdir maka boleh, artinya tidak haram.
Ø  Berdasarkan bahwa Nabi diutus untuk memperbaiki akhlaq manusia dan Nabi berkhlaq mulia, maka hadits tentang larangan makan dan minum ketika berdiri merupakan suatu bentuk akhlaq Nabi. Dengan demikian makan dan minum ketika duduk lebih sopan daripada makan dan minum ketika berdiri.

Ketika hadits-hadits di atas dimasukan dalam konteks kekinian khususnya dalam konteks ke-Indonesia-an yang struktur masyarakatnya prular yang mempunyai budaya dan adat serta tradisi yang berbeda-beda, maka tradisi satu tempat dengan tempat yang lainnya kemungkinan besar akan berbeda, begitupun dalam konteks makan dan minum ketika berdiri. Jika di suatu tempat makan dan minum dan makan ketika beridiri dianggap sesuatu yang tidak sopan, maka larangan hadits tentang larangan makan dan minum ketika berdiri tampaknya lebih relevan dalam konteks tradisi Indonesia dan juga merupakan suatu yang lebih dianjurkan oleh Nabi,


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama