Kritik Terhadap Pluralisme Agama (Orientalis) dan Liberal didalam memaknai “ISLAM”


Oleh : Abu Rizal


Dewasa ini wacana tentang keagamaan semakin marak terjadi di Indonesia, sehingga menghasilkan khazanah pemikiran yang baru, salah satunya  yaitu tentang wacana pluralisme agama.

Pluralisme berasal dari bahasa Inggris, yaitu pluralism. Asal katanya adalah plural yang artinya jamak, lebih dari satu. Saat pluralisme bersentuhan dengan agama, paham ini kemudian dikenal dengan istilah pluralisme agama. Pada perkembanganya, istilah ini (pluralisme agama) telah menjadi terminologi khusus yang sudah baku (technical term). Dari berbagai kamus pluralism dapat disederhanakan ke dalam dua pengertian: pertama, pengakuan terhadap keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, agama, suku, aliran, maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik diantara kelompok-kelompok tersebut. Kedua, doktrin yang memandang bahwa tidak ada pendapat yang benar atau semua pendapat adalah sama benarnya

Dari berbagai kamus pluralism dapat disederhanakan ke dalam dua pengertian: pertama, pengakuan terhadap keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, agama, suku, aliran, maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik diantara kelompok-kelompok tersebut. Kedua, doktrin yang memandang bahwa tidak ada pendapat yang benar atau semua pendapat adalah sama benarnya.

Dari pengertian tersebut di atas, pluralisme bisa dipahami menghargai keragamaan dan perbedaan dengan cara merelatifkan kebenaran. Hal ini bisa dilihat dari pengertian kedua yang bermakna relativitas kebenaran, yaitu suatu pandangan atau paham yang menyatakan bahwa tidak ada kebenaran mutlak atau setiap pendapat bisa sama-sama benar.

Sementara Moqsith Ghazali, seorang tokoh pluralisme di Indonesia menyatakan bahwa pluralisme itu bukan berarti menyamakan agama-agama. Ia membantah pernyataan MUI yang melarang pluralisme karena paham ini mengusung misi menyamakan semua agama. Menurutnya, menyamaratakan semua agama itu bukanlah esensi dasar dari pluralisme. Pluralisme justru mengakui keragaman dan mempertahankan perbedaan, bukanlah memaksakan sama. Maka, pluralisme datang untuk membuat berbagai perbedaan itu hidup berdampingan.

Salah satu misi utama yang diusung gerakan pluralisme adalah relativitas kebenaran bagi setiap agama di dunia, sebagai bentuk toleransi untuk memelihara kerukunan hidup antarumat beragama di tengah-tengah keragaman agama yang berkembang saat ini. Dengan menyatakan bahwa semua agama benar, para pengusung pluralisme agama, seperti Schleiermacher dan John Hick, berharap tidak ada lagi agama yang mengklaim sebagai pemilik kebenaran hakiki karena pada hakikatnya, menurut Schleiermacher, agama itu merupakan hasil dari berbagai perasaan dan pengalaman keberagamaan manusia, sehingga setiap agama yang ada di dunia ini mengandung kebenaran Ilahi.

Konsep relativitas kebenaran yang diusung paham pluralisme tersebut bisa menggoyahkan keyakinan para pemeluk agama. Karena kebenaran agama sudah tidak mutlak lagi, maka muncullah skeptisisme di kalangan para penganut agama yang akhirnya berujung pada ateisme dan agnostisisme. Para penganut agama meninggalkan agama karena sudah tidak percaya lagi terhadap agama. Pada akhirnya, agama hanya tinggal nama dan tidak memiliki penganut lagi. Walaupun agama-agama yang ada di dunia masih dianut para pengikutnya, namun eksistensi tiap-tiap agama hanyalah formalitas belaka. Oleh karena itu paham pluralisme agama sangat membahayakan eksistensi agama yang berujung pada upaya terminasi agama-agama.

Salah satu yang mendasari mereka tentang pluralisme agama ini adalah selain relativitas kebenaran yang menurut mereka perpecahan yang ada pada saat ini adalah karena klaim terhadap agama yang menurutnya paling benar, juga berdasarkan kritisi terhadap agama Islam, khusunya term kata “Islam” didalam Al Qur’an.

Bagi para Orientalis makna  Islam dalam Al Qur‟an (Surah Ali Imran ayat 19,58 dan Al Maidah ayat 3) merupakan sebuah bentuk penyerahan diri kepada Tuhan. Artinya Islam bukan merupakan nama agama seperti apa yang kita yakini selama ini yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad1, sehingga akan menimbulkan keyakinan baru tentang kebenaran agama-agama lain. Berangkat dari pernyataan inilah mereka berani mengatakan bahwa agama-agama yang sifatnya berserah diri dan tunduk kepada Tuhan maka itulah agama Islam baik itu agama Yahudi, agama Kristen dan lain-lain2. Mereka juga mengatakan kalau keyakinan bahwa hanya agama Islam saja benar maka ini adalah sebuah keyakinan yang keliru.

Tentang makna kata Islam dalam Al Qur‟an ( 3 : 19), menurut W. C. Smith makna kata Islam dalam ayat tersebut adalah bentuk aktivitas penyerahan diri atau tunduk kepada Tuhan, bukannya sebagai nama institusi atau sistem keagamaan tertentu. Kalaupun sebagai makna Islam sebagai nama sebuah agama, hal itu melainkan lahir dari sebuah proses sejarah. Maka menurutnya sangat aneh sekali jika kata Islam dipaksakan makna sebagai nama sistem keaagamaan (a religious system), karena makna seperti itu hasil dari perkembangan sejarah.

Dari kalangan muslim Liberal, Muhammad Syahrur berani menggugat makna Islam yang telah disepakati oleh para ulama-ulama Tafsir sebagai nama sebuah agama. Dalam karyanya “Al Islam Wal Iman : Manzhumat Al Qayim”, setelah meneliti ayat yang berbicara tentang Islam : Al Baqarah. 62,111,126,  Annisa. 125, Al Maidah. 44, Al Anbiyaa. 108, Fushshilat. 33, Syahrur menjelaskan bahwa Islam adalah sikap mengakui adanya Allah, beriman kepada hari akhir, dan beramal shaleh. Siapapun yang memiliki ketiga sifat itu, maka ia disebut sebagai muslim tanpa melihat apakah ia termasuk pengikut Nabi Muhammad, Nabi Musa, Nabi Isa ataupun pengikut jalan kebenaran lainnya diluar ketiga tradisisemitik tersebut. Islam dalam pengertian inilah yang dimaksudkan dalam Al Qur’an sebagai din yang diterima oleh Allah.

Berdasarkan pendapat Syahrur di atas, secara tidak langsung Syahrur menginginkan adanya inklusivisme bahkan pluralisme dalam memakna kata Islam. Maksudnya, Pengikut Nabi Muhammad seharusnya tidak menjadikan Islam sebagai agama yang eksklusif dan mengklaim hanya pengikut Nabi Muhammad saja yang benar dan akan masuk surga, sedangkan yang lain akan masuk neraka. Jika Islam menganut paham ekslusivisme, dengan mengklaim bahwa ajaran Muhammad saja yang benar dan yang lain salah, maka tidak ada bedanya dengan yahudi dan kristen yang mengkalim bahwa selain pengikutnya akan masuk neraka sebagaimana yang tertulis dalam QS. 2:111

 

Kritis makna Islam Menurut Orientalis dan Liberal

Islam berasal Kata aslama yang berarti berserah diri atau tunduk yang kemudian bentuk masdharnya diinterpretasi oleh para ulama sebagai nama sebuah agama yang berorientasi kepada sikap berserah diri atau tunduk kepada Allah. Interprestasi ini berdasarkan dari ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits.

Sedangkan makna Islam secara terminologi juga dijelaskan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari‟, Islam dimaknai sebagai syari‟at-syari‟at yang datang dari Allah kepada agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad yang wajib diimani dan diamalkan oleh umat manusia.

Makna Islam yang dimaksudkan di dalam ayat-ayat Al Qur’an (Ali-Imran ayat 19) adalah nama agama bagi suatu agama yang diturunkan dan diiktiraf oleh Allah dan dinamakan sedemikian oleh-Nya sendiri. Ia tidak mungkin dapat diganti dengan kata kerja (aslama) berserah diri atau kata mashdar (Islam, penyerahan diri) yaitu makna lughawi (dari sudut bahasa), karena ia telah terikat oleh perkataan diinan di atas. Atau pernyataan lainnya lebih banyak mengutip ayat ayat Al Qur‟an yang menunjukkan makna Islam sebagai nama agama yang dibawa Nabi Muhammad dan juga pemahamannya terhadap Hadits yang menerangkan tentang rukun keimanan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad8. Dari kedua sumber inilah yang membuktikan pernyataan tersebut tentang makna Islam. Selanjutnya didalam kajian ilmu yang dipakai kaum orientalis ataupun liberal itu hanya bersifat parsial tidak universal mereka hanya memakai disiplin ilmu tertentu padahal didalam dunia penafsiran Al Qur’an disana membutuhkan cabang disiplin ilmu yang lain sperti contoh ilmu mantiq, didalam ilmu mantiq disana ada sebuah pembahsan tentang lafadz didalam pembagian lafadz ada sebuah bagian yang bernama manqul, yaitu lafadz yang disimpan pada sebuah makna kemudian lafadz tersbut digunakan pada makna yang lain karena ada saling keterhubungan, dalam lafadz Islam itu sendiri ia termasuk ke dalam lafadz yang manqul, memang pada dasarnya makna awal kata islam itu berarti berserah diri, akan tetapi menjadi berubah menjadi makna sebuah nama agama karena ada sebuah saling keterkaitan, seperti conyoh lain dalam kata shalat, yang pada dasarnya makna shalat adalah do’a, akan tetapi menjadi berubah makna yaitu suatu peribadatan yang dimulai oleh niat, takbir dan diakhiri dengan salam.

Ada banyak pernyataan-pernyataan yang menanggapi pernyataan Orientalis terhadap makna Islam. Diantaranya seorang tokoh intelektual dari Malaysia yang bernama Syed Muhammad Naquib Al Attas.  Al Attas memberikan pandangan yang sangat jelas dan lugas. Menurutnya hanya ada satu agama yang otentik dan namanya sudah diberikan oleh Allah yaitu agama Islam. Karena menurutnya, Islam bukan hanya sekedar kata kerja yang bermakna pasrah atau berserah diri kepada Tuhan (submission to God), tetapi juga nama sebuah agama yang menjelaskan cara berserah dan tunduk yang benar kepada Tuhan.

Menurut Al Attas lagi, agama yang benar (the true relegion) bukan hanya menegaskan konsep Tauhid, tetapi juga menjelaskan tata cara dan bentuk submission yang benar sesuai dengan yang diajarkan oleh seorang Nabi. Berbicara tentang submission, dalam Al Qur‟an (Ali Imran : 83) disebutkan ada dua bentuk submission, yakni submission secara sukarela dan submission tidak sukarela. Maka, menurut Al Attas submission yang dilakukan secara sukarela dengan sadar dan kemauan sendiri merupakan bentuk dari the real submission. Submission seperti ini juga berarti ketaatan terhadap hukum-hukum-Nya. Seperti yang ditegaskan Allah dalam Al Qur‟an : “Dan siapakah yang lebih baik din-nya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang iapun mengerjakan kebaikan dan ia mnegikuti millah Ibrahim yang hanif”. (Annisa : 125)

Selanjutnya mengenai firman Allah SWT didalam surat Al Baqarah ayat 62, para kaum orientalis dan liberal tidak mengkajinya secara komprehensif mereka tidak memakai ilmu tafsir, karena didalam ayat tersebut memilki asbab al nuzul, didalam tafsir Al Qur’an Al Adzim Ibnu katsir menjelaskan bahwa sahabat Salman pernah bertanya kepada Rosul tentang teman-temannya yang seagama dengannya dimasa lalu, salman menceritakan bahwa mereka shalat, puasa, berbuat baik, kemudian Salman menanyakan tentang keadaan mereka, Rosululloh pun bersabda kepadanya “Hai Salman, mereka termasuk ahli neraka” mendengar hal itu salman merasa amat berat, lalu kemdian Allah SWT menurunkan suran Al Baqarah ayat 62 ini.

Dari asbab al nuzul ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa barang siapa yang beriman kepada Allah, hari akhir dan selalu berbuat baik, baik itu orang nashrani, yahudi atau pun orang orang sobi’in selama agama Islam belum turun ke muka bumi ini maka mereka akan mendapat ganjaran dari Tuhan mereka dengan kata lain akan masuk surga, akan tetapi ketika agama Islam sudah turun ke mukan bumi maka tidak ada lagi agama yang di ridhoi kecuali hanya agama Islam sebagai mana dijelaskan dalam firman Alla surat Ali Imran ayat 19.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama