Hukum menyekolahkan anak di Sekolah non-muslim











Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

Pertanyaan dari Bapak Sumbaji
Saat ini kami mempunyai anak umur 9 th dan mengalami kurang pendengaran ( tuna rungu), untuk menunjang pendidikan anak, kami sekolahkan di sekolah yayasan non muslim, yang sudah berjalan selama 2 th dan alhamdullilah dari segi pendidikan sudah banyak kamajuan, untuk pendidikan agama kami hanya bisa memberikan pendidikan di saat anak kami libur sekolah karena anak kami tinggal di asrama, yang ingin kami tanyakan :
1. Bagaimana hukumnya kami sebagai orang tua menyekolahkan anak di sekolah non-muslim?

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh
Jawaban
1.      Pertanyaan yang saudara ajukan, mengenai hukum menyekolahkan anak disekolah non-muslim, Majlis Tarjih Muhammadiyah sudah pernah menjawabnya, hanya saja belum dibukukan dalam Tanya Jawab Agama. Saat ini, jawaban pertanyaaan tersebut bisa dilihat pada kumpulan Fatwa Tarjih di web resmi Majelis Tarjih Muhammadiyah, pertanyaan ini dimuat pada 10 April 2015. berikut kami sampaikan lagi mengenai hukum menyekolahkan anak di sekolah non-muslim

A.    Dasar Pertimbangan Fatwa:
1.      Pentingnya pendidikan bagi anak
a)      QS. an-Nisa ayat 9
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar
Menurut ayat di atas, pendidikan bagi anak adalah prinsip dasar yang harus dipenuhi. Dalam kondisi bagaimanapun, anak harus mendapatkan haknya mengenyam pendidikan. Anak yang tidak mengenyam bangku sekolah, akan menjadi generasi yang lemah, dan lebih dari itu bahkan mereka dapat menjadi problem bagi peradaban.

2.      Pentingnya pendidikan agama bagi anak
a.     QS. at-Tahrim ayat 6:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa tanggungjawab orangtua terhadap anak adalah menyelamatkannya dari api neraka. Diantara jalan yang harus ditempuh untuk sampai ke sana adalah dengan memberikan bekal ilmu agama yang memadai dalam diri anak. Anak harus mendapatkan pengetahuan akidah, ibadah dan akhlak sesuai ajaran Islam.
b.    Hadis Riwayat Bukhari-Muslim :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ.  متفق عليه
Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata. Rasulullah saw. bersabda: setiap anak dilahirkan sesuai dengan fitrah (Islam). Kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi [HR al-Bukhari no. 1385 dan Muslim no. 2658].
Dalam hadis di atas Nabi menerangkan bahwa pada prinsipnya anak lahir dengan fitrah sebagai seorang muslim. Perubahan keyakinan dalam diri anak sesungguhnya terjadi akibat dari pendidikan yang diberikan orang tua dan lingkungan di sekitar anak. Oleh karena itu, menjadi penting orang tua menanamkan akidah Islam yang kuat dan memberikan ilmu agama yang cukup kepada anak.
3.      Prinsip tentang relasi muslim dengan non-mulim
a.     QS. al-Mumtahanah ayat 8-9
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (9)
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim
Dalam ayat di atas disebutkan bahwa sepanjang non-muslim tidak memerangi dan berlaku kasar terhadap umat Islam, maka hubungan sosial kemasyarakatan harus berlangsung secara damai.
b.      Hadis Riwayat Ahmad
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ نَاسٌ مِنَ الأَسْرَى يَوْمَ بَدْرٍ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ فِدَاءٌ فَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِدَاءَهُمْ أَنْ يُعَلِّمُوا أَوْلاَدَ الأَنْصَارِ الْكِتَابَةَ قَالَ فَجَاءَ يَوْماً غُلاَمٌ يَبْكِى إِلَى أَبِيهِ فَقَالَ مَا شَأْنُكَ قَالَ ضَرَبَنِى مُعَلِّمِى.رواه احمد
Artinya:
Dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Sebagian dari tawanan perang Badar tidak memiliki (uang) untuk tebusan. Maka Rasulullah menentukan tebusan mereka mengajarkan anak-anak dari kalangan Anshar baca tulis”. Ibnu Abbas berkata. “Seorang anak suatu ketika datang kepada ayahnya sambil menangis. Ayahnya bertanya, “ada apa dengan dirimu?”. Ia menjawab, “guruku memukulku” (HR Ahmad, no. 2216)
Dalam hadis di atas, kita mendapatkan informasi bahwa pada zaman Rasulullah sendiri pernah terjadi anak-anak dari keluarga muslim belajar kepada non-muslim. Hal ini terjadi bukan karena pada saat itu belum ada sahabat yang bisa baca dan tulis, tapi hanya sekedar  mengajar sebagai bentuk tebusan mereka sebagai tawanan. Selain itu, para tahanan non-muslim yang mengajar juga tidak mungkin memurtadkan anak yang belajar pada mereka karena status mereka sebagai tawanan perang dan berada dalam pengawasan.
4.      Prinsip tidak boleh ikut dalam peribadatan agama orang lain
a.     QS. al-Kafirun
 قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)

Katakanlah wahai orang-orang yang kafir. Aku tidak menyembah apa yang kalian sembah. Dan kalian tidak menyembah apa yang aku sembah. Aku bukanlah penyembah sebagaimana kamu menyembah. Dan kamu bukanlah penyembah sebagaimana aku menyembah. Untukmu agamu dan untukku agamaku.
Dalam ayat di atas, umat Islam diajarkan bahwa akidah Islam tidak boleh tergadaikan dengan cara mengikuti keyakinan dan peribadatan agama lain. Kepada non-muslim pun diserukan untuk tidak menyampaikan mempengaruhi umat Islam agar mengikuti agama mereka.
5.      UU NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA
a.       Pasal 22 ayat (1)
“Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
b.      Pasal 55
“Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan biaya di bawah bimbingan orang tua dan/atau wali.”
6.      UU NO 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
a.       Pasal 6 :
“Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.”
b.      Pasal 37 ayat (3):
“... anak yang diasuh harus yang seagama dengan agama yang menjadi landasan lembaga yang bersangkutan.”
c.       Pasal 42 ayat (2) :
“Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti agama orang tuanya.”
d.      Pasal 43 ayat (1) :
“Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua, wali, dan lembaga sosial menjamin
perlindungan anak dalam memeluk agamanya.”
ayat (2) :
“Perlindungan anak dalam memeluk agamanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi anak.”
7.      UU NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISDIKNAS
a.       Pasal 12 ayat (1) a:
“Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.”
8.      Kenyataan bahwa lembaga pendidikan non-negeri senantiasa membawa misi atau ideologi tertentu yang harus dijadikan pertimbangan saat menyekolahkan anak.

B.    Fatwa:
Berdasarkan beberapa pertimbangan di atas, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengeluarkan fatwa sebagai berikut:
1.      Orang tua wajib menjamin keselamatan dan kemurnian akidah anak.
2.      Haram bagi orang tua menyekolahkan anak di sekolah yang mengancam akidah Islam.
3.      Haram bagi orang tua menyekolahkan anak di sekolah yang menghalangi anak belajar agama Islam.
4.      Haram bagi orang tua menyekolahkan di sekolah non-muslim yang tidak mengajarkan pelajaran agama Islam.
5.      Haram bagi orang tua membiarkan anak mengikuti pendidikan atau pelajaran agama non-Islam.
6.      Bersekolah di lembaga non-muslim yang tidak termasuk ke dalam poin 2-5 di atas hukumnya boleh, dengan catatan:

a)      Bukan untuk jenjang pendidikan usia dini (PAUD) sampai usia sekolah, karena pada usia tersebut anak dianggap rentan dan mudah terpengaruh oleh keyakinan agama lain.
b)      Dalam kondisi ketiadaan alternatif lembaga pendidikan Islam atau negeri, seperti tinggal di kawasan mayoritas non-muslim. 
c)      Harus ada jaminan akan adanya pengajaran agama Islam untuk anak dari pihak sekolah.
d)     Orang tua harus terus menanamkan pada anaknya identitas, kesadaran dan perilaku bahwa dirinya adalah orang yang beragama Islam.
Adapun mengenai permasalahan anak yang berkebutuhan khusus (dalam konteks ini anak yang tunarungu) yang sekolah di sekolah non-muslim, dengan melihat pentingnya  pendidikan bagi anak sesuai dengan firman allah pada al-Qur’an surat an Nisa’ayat 9 diatas, maka kami berpendapat jika sekiranya terdapat sekolah (bagi mereka yang berkebutuhan khusus) milik pemerintah atau lembaga pendidikan organisasi islam yang didalamnya mengajarkan tentang pendidikan agama Islam  maka menjadi keharusan bagi orang tua untuk mengarahkan pendidikan anaknya ke sekolah tersebut, hal ini sebagai usaha dalam menjaga akidah dan keselamatan agama si anak. Akan tetapi jika di lingkungan saudara sama sekali tidak ada sekolah negeri (sekolah milik pemerintah) yang menyediakan pelayanan pendidikan bagi orang yang berkebutuhan khusus maka boleh bagi orangtua untuk menyekolahkan anaknya di sekolah non-muslim dengan tetap melihat pertimbangan syarat-syarat diatas, dan mengenai bolehnya anak bersekolah di sekolah non-muslim hal ini berdasarkan pada kaidah :
الضرورات تبيح المحظورات
Kemadlaratan itu membolehkan larangan-larangan
Apabila ada atau tersedia sekolah (bagi mereka yang berkebutuhan khusus) milik pemerintah atau sekolah milik organisasi Islam setempat  yang didalamnya diajarkan pendidikan agama Islam, namun berada di tempat yang sangat jauh dari tempat tinggal si anak, sehingga diperkirakan akan sangat menyulitkan bagi orang tua dan si anak sendiri untuk menempuh pendidikan di lembaga pendidikan tersebut, maka hukumnya menjadi boleh bagi orangtua untuk menyekolahkan anaknya disekolah non-muslim, dengan pertimbangan memberikan kemudahan bagi orangtua dan bagi si anak yang menginginkan pendidikan, hal ini berdasarkan pada kaidah
المشقة تجلب التيسير
Kesukaran itu menarik kepada kemudahan.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama