Assalamualaikum wr.wb
Pertanyaan
Dari bapak Supriyadi, Jakarta Utara
Saya adalah
seorang pegawai di sebuah rumah sakit. Kadang-kadang menangani pasien
perempuan yang sedang menstruasi. Selama
rawat inap dirumah sakit, telah selesai masa haidnya. Namun dalam pertimbangan
medis ia tidak diperbolehkan untuk mandi besar. Pertanyaannya:
1.
Apakah
ia boleh bertayamum untuk menghilangkan hadats besarnya?
2.
Kemudian
setelah selang beberapa hari, dalam pertimbangan medis ia sudah diperbolehkan
untuk mandi, apakah ia harus mandi besar untuk mengganti tayamumnya? Atau
tayamum itu sudah menjadi ganti mandi besarnya, sehingga dia tidak harus mandi
besar?
Jawaban:
1.
Jawaban
terhadap pertanyaan pertama, bahwa untuk seseorang
yang menderita penyakit ataupun terluka sehingga terhalang untuk mandi wajib,
Islam memberikan keringanan untuk
bertayamum sebagai pengganti mandi wajib. Dalilnya adalah dari al-Qur’an surat
al-Ma’idah ayat 6 dan hadits berikut:
a)
Qur’an
surat al-Ma’idah ayat 6:
وَإِنْ
كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ
جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ
تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ
وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ
وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُونَ
“Dan apabila kamu junub maka bersucilah,
dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air
(kakus) atau berhubungan badan dengan wanita, lalu kamu tidak memperoleh air,
maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia
hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu
bersyukur”. (Q.S. Al-maidah: 6)
b)
Hadis Riwayat
Abu Dawud dari Jabir.
عَنْ
جَابِرٍ قَالَ خَرَجْنَا فِى سَفَرٍ فَأَصَابَ رَجُلاً مِنَّا حَجَرٌ فَشَجَّهُ
فِى رَأْسِهِ ثُمَّ احْتَلَمَ فَسَأَلَ أَصْحَابَهُ فَقَالَ هَلْ تَجِدُونَ لِى
رُخْصَةً فِى التَّيَمُّمِ فَقَالُوا مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَأَنْتَ تَقْدِرُ
عَلَى الْمَاءِ فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى النَّبِىِّ -صلى
الله عليه وسلم- أُخْبِرَ بِذَلِكَ فَقَالَ قَتَلُوهُ قَتَلَهُمُ اللَّهُ أَلاَّ سَأَلُوا
إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِىِّ السُّؤَالُ إِنَّمَا كَانَ
يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ وَيَعْصِرَ.
Jabir menceritakan ketika bersama dengan sahabat lainya bepergian.
Salah seorang diantara mereka tertimpa batu dan terluka.lalu ia mimpi basah dan bertanya kepada teman-temannya apakah
diperbolehkan untuk bertayamum. Teman-temannya menjawab bahwa tidak ada jalan
rukhsah. Maka mandilah orang itu kemudian meninggal. Oleh Jabir selanjutnya
diceritakan kepada Nabi Saw setelah kembali dari berpergian itu. Maka Nabi Saw
bersabda : Mereka telah menyebabkan kematiannya. Mudah-mudahan Allah mematikan
mereka. Kenapa mereka tidak bertanya sedang mereka itu tidak mengerti, sebab
obat kebodohan itu adalah bertanya. Sesungguhnya cukup baginya bertayamum dan mencegah untuk mandi . ( H.R Abu Dawud no 128).
Dari hadits diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa, apabila
orang yang sakit menggunakan air akan mendatangkan madlarat, maka dibolehkan
untuk tayamum. Hal ini menunjukkan bahwa terhalangnya seseorang dari
mengamalkan hukum asal dapat berpindah kepada yang lain. Namun, pengganti
tersebut masih dalam bingkai nash. Sebagaimana dalam kaidah fiqh:
إذا
تعذر الأصل يصار إلى البدل
Apabila hukum asli sukar dikerjakan, maka digantikan dengan hukum
penggantinya.
2.
Jawaban
dari pertanyaan kedua adalah jika pasien tersebut sudah sehat dan diperbolehkan untuk mandi,
maka ia tidak perlu untuk mandi junub. Karena tayamum yang ia lakukan sudah menggantikan mandi wajib sebagai rukhsah (keringanan). Namun untuk lebih menjaga kebersihan maka
hendaknya ia mandi tetapi bukan untuk menganti mandi wajib.
Posting Komentar